Komisi Energi Tolak Swasta Jadi Agregator Gas
KATADATA - Pemerintah berrencana membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk menjadi penyangga atau agregator kebutuhan gas nasional. Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Kardaya Warnika mengatakan konsep agregator gas oleh pemerintah dengan menunjuk dua PT Pertagas dan Perusahaan Gas Negara (PGN) tidaklah tepat.
Menurut Kardaya, PGN tidak layak menjadi agregator mengingat saham perusahaan pelat merah itu didominasi oleh asing. "Pikirikan, bagaimana rasanya rakyat kalau monopoli itu diberikan ke PGN. PGN itu sudah bercokol asing karena tidak semua milik negara," kata Kardaya dalam bedah buku dan seminar Outlook Energi Indonesia di Gedung BPPT Jakarta, Selasa, 3 November 2015.
Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas ( BP Migas) ini menegaskan agregator gas harus memenuhi syarat, di antaranya kepemilikan saham mesti sepenuhnya dimiliki negara. Karena itu, dia tidak mempermasalahkan bila Pertagas yang menjadi penyangga. Anak usaha PT Pertamina itu hingga kini masih seratus persen dimiliki negara. Namun, bila dikemudian hari juga dilego ke asing, gugurlah persetujuan tersebut.
Langkah buruk lain dari pemerintah, kata Kardaya, yaitu menghadapkan Pertagas yang murni dimiliki negara dengan PGN. Persaingan ini kemungkinan akan dimanfaatkan oleh asing untuk mengeruk keuntungan, terutama perusahaan yang memiliki kontrak ladang migas.
Sebagai jalan keluar, Kardaya menyarankan pemerintah untuk mengambil alih saham yang masih dimiliki asing, "Ini saat tepat untuk mem-buyback karena sekarang harganya lebih murah," kata Kardaya. (Baca juga: Perusahaan Swasta Berpeluang Jadi Agregator Gas).
Sebelumnya, Kepala BPH Migas Andi Noorsaman Sommeng, kepada Katadata, menyatakan badan penyangga gas sangat rawan akan gugatan hukum. Terlebih, peraturan presiden yang akan terbit belum memiliki payung hukum undang-undangnya. “Regulasi badan penyangga atau aggregator gas tidak ada cantolannya sampai saat ini” ujarnya.
Seandainya renacana pemerintah ini benar terlaksana, Andy tidak ingin BPH Migas menjadi badan usaha khusus penyangga gas. Dia lebih berharap lembaganya menjadi badan otoritas. “Kalau menjadi badan usaha kami melakukan kegiatan usaha” ujarnya. “Kami menjadi wasit yang berdiri ditengah-tengah dengan adil dan transparan.”
Rencana pembentukan agregator gas kembali dihembuskan pemerintah sejak pertengahan tahun ini. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I.G.N. Wiratmaja Puja di Plaza Centris menyatakan tugas agregator akan membeli gas dari berbagai sumber dan memadukannya sehingga sampai ke konsumen lebih tertata. Penggunaannya untuk industri pupuk, listrik, konsumen ritel.
Meski begitu, kewenangan harga gas tetap berada di tangan pemerintah. Agregator hanya bertugas mencampur harga gas. Berdasarkan formula tertentu, agregator gas bisa mengeluarkan harga yang berbeda untuk tiap sektor.
Hingga saat ini, pemerintah masih menyusun Peraturan Presiden mengenai Tata Kelola Gas Bumi. Aturan ini merupakan penyempurnaan Keputusan Menteri ESDM No. 2700 K/11/MEM/2012 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi Dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2012-2025.
Perpres ini akan mengatur pembagian area usaha distribusi, agregator gas hingga infrastruktur yang dibutuhkan untuk pengembangan suatu daerah atau kawasan. Pembagian area distribusi gas bumi diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih antara badan usaha satu dengan lainnya.