Delegasi RI Sampaikan Kasus Perbudakan ABK kepada Dewan HAM PBB
Pemerintah Indonesia menyampaikan kasus soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di industri perikanan dengan korban para anak buah kapal (ABK) asal Indonesia kepada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Delegasi RI menyebutkan ABK Indonesia rentan mengalami pelanggaran HAM seperti menghadapi kondisi kerja tidak manusiawi ataupun situasi seperti perbudakan, dan bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.
"Indonesia menggarisbawahi perlunya Dewan HAM untuk tegas melindungi HAM kelompok rentan yang sering tidak diperhatikan, yaitu hak-hak para ABK yang bekerja di industri perikanan," kata Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib, dikutip dari Antara, Selasa (12/5).
(Baca: Menelusuri Pangkal Perbudakan Modern di Kapal-kapal Ikan)
Delegasi Indonesia menyampaikan hal tersebut dalam konsultasi informal secara virtual dengan Presiden Dewan HAM pada 8 Mei 2020. Agenda utama mengenai "Dampak Pandemi terhadap HAM". Dewan HAM PBB tengah membahas upaya global untuk menjamin keseimbangan penanganan Covid-19 dan perlindungan HAM.
Hasan menyatakan perlindungan HAM di industri perikanan bersifat strategis karena merupakan kunci rantai pangan dan pasokan global dalam masa normal, apalagi dalam situasi pandemi corona seperti sekarang ini.
Persoalan di industri perikanan tersebut disampaikan selain Indonesia mendukung penguatan kerja sama internasional dalam penanganan pandemi, termasuk melalui jaminan akses produk-produk kesehatan secara global yang antara lain mencakup diagnosis, perawatan, dan vaksin.
Pelanggaran HAM yang dialami ABK Indonesia terbongkar pertama kali pada 2015 lalu. Ratusan ABK asal Indonesia terjerat perbudakan modern saat bekerja di PT Pusaka Benjina Resorces (PBR) di Benjina, perusahaan perikanan yang berbendera Thailand. Para ABK di Benjina tak mendapatkan gaji dan mereka kerap menerima siksaan fisik.
(Baca: Soroti Dugaan Perbudakan ABK Indonesia, Susi Angkat Kasus Benjina)
Perbudakan ABK Indonesia di Kapal Tiongkok
Terungkapnya dugaan eksploitasi dan perbudakan yang dialami para ABK asal Indonesia di kapal Tiongkok Long Xing 629 mendapat sorotan. Di kapal tersebut empat ABK meninggal dunia, tiga jenazah dilarung di laut. Satu orang meninggal sakit pneumonia di Korea Selatan.
Informasi awal berasal dari laporan kantor berita MBC News, pada Rabu (6/5) yang menayangkan sebuah video yang menggambarkan jenazah seorang ABK asal Indonesia bernama Ari dibuang ke laut. Pewarta MBC News menyebutkan video itu diperoleh dari ABK asal Indonesia ketika kapal ikan tersebut berlabuh di Pelabuhan Busan, Korea Selatan pada 14 April lalu.
(Baca: Pemerintah Didesak Mengusut Tuntas Dugaan Perbudakan ABK Indonesia)
Selain kasus Ari, terdapat dua ABK lain yang meninggal dan jenazahnya dibuang ke laut yakni Sepri dan M Alfatah. Belakangan, Effendi Pasaribu meninggal di sebuah rumah sakit di Busan. Effendi yang menunggu giliran pulang ke Indonesia setelah bekerja 14 bulan, meninggal karena sakit pneumonia.
Seorang ABK memberikan kesaksian mendapat perlakuan buruk selama bekerja di kapal Long Xin 629, sehingga banyak ABK yang sakit dan kemudian meninggal dunia. Para bekerja dipaksa bekerja selama 18 jam sehari, bahkan ada yang dipaksa bekerja hingga 30 jam.
Mereka diberikan istirahat selama enam jam sehari untuk kesempatan tidur dan makan. Setelah bekerja selama 13 bulan di laut, para ABK tersebut hanya mendapat upah US$ 120 per orang atau Rp 1,8 juta (asumsi kurs Rp 15.000). Artinya, setiap orang hanya menerima kurang lebih Rp 138.000 per bulan selama 13 bulan berada di laut.
Pemerintah telah menjemput jenazah Effendi dan 14 ABK lain dari kapal Long Xin 629. Para ABK tersebut masih menjalani karantina selama 14 hari. Kondisi mereka yang memburuk sudah berangsur pulih.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan ini secara hukum hingga tuntas. "Kasus ini akan ditindaklanjuti secara tegas melalui hukum secara pararel baik dari otoritas Tiongkok maupun Pemerintah Indonesia," kata dia dalam konferensi pers, Minggu (9/5).
Retno menyebutkan berupaya menagih hak-hak para ABK yang tak dipenuhi seperti jam kerja yang mencapai 18 - 24 jam sehari, gaji yang tidak sesuai kontrak dan konsumsi yang tidak laik. "Perlakuan ini menciderai hak-hak asasi manusia dan pemerintah memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk menyelsaikan permasalahan ini secara tuntas termasuk di hulu," kata dia.
(Baca: ABK Indonesia Diduga Alami Perbudakan di Kapal Tiongkok)