Kejanggalan Proyek Reklamasi Ancol yang Disetujui Gubernur Anies
Proyek perluasan Taman Impian Jaya Ancol tetap berlanjut meskipun dilanda kontroversi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpendapat proyek itu berbeda dengan reklamasi Teluk Jakarta.
"Yang terjadi ini berbeda dengan reklamasi (17 pulau) yang alhamdulilah sudah kami hentikan dan menjadi janji kami pada masa kampanye itu," ujar Anies dalam video yang diunggah di akun YouTube Pemprov DKI Jakarta, Sabtu (11/7).
Anies telah menerbitkan izin perluasan Ancol lewat Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020. Di dalam keputusan ini termaktub PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk memperoleh izin perluasan taman rekreasi Ancol.
Dunia Fantasi nantinya mendapat tambahan luas 35 hektare. Lalu, kawasan Taman Impian Jaya Ancol Timur diperluas 120 hektare. Aturan itu juga menuliskan kewajiban pengerukan sedimentasi sungai dan waduk sekitar kawasan yang dibebankan kepada perusahaan.
(Baca: Anies Baswedan Klaim Reklamasi Ancol Telah Berjalan Selama 11 Tahun)
Anies berpendapat izin tersebut sejalan dengan upaya mengurangi banjir di ibu kota. Pasalnya, pemerintah provinsi memiliki program pengerukan sedimentasi di 13 sungai dan 30 waduk di wilayah Jakarta Utara. Program ini merupakan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) untuk mengatasi pendangkalan wilayah perairan sekaligus mencegah banjir.
Pada proyek JEDI, Bank Dunia sebagai pememberi pinjaman untuk membiayai proyek itu meminta adanya tempat penampungan hasil kerukan. Pemprov lalu memilih kawasan perairan Ancol sebagai lokasi penampungan.
Sejak 11 tahun program itu berjalan, ada 20 hektare lahan yang terbentuk di kawasan Ancol yang berasal dari kerukan lumpur dan tanah. Namun, lahan itu belum dimanfaatkan karena tidak memiliki dasar hukum. “Untuk bisa memanfaatkannya, Pemprov DKI harus mengurus hak pengelolaan lahan ke Badan Pertanahan Nasional dan itu membutuhkan legal administrative," ujar Anies
Hasil pengerukan sungai ternyata hanya memenuhi 13% dari total 155 hektare tanah yang diperlukan untuk perluasan Ancol. Anies mengatakan proses pengerukan sungai dan waduk akan terus berjalan dan akan ada tambahan tanah dari proyek moda raya terpadu atau MRT.
(Baca: Janji Kampanye Anies & Dampak Lingkungan di Balik Izin Reklamasi Ancol)
PT Pembangunan Jaya Ancol memperkirakan rencana pengembangan taman rekreasi itu menelan biaya Rp 4.528,93 triliun. Target pengerjaannya mulai 2021 hingga 2023. Sejumlah tempat rekreasi baru akan dibuka di Ancol, meliputi Bird Park, Masjid Apung, Symphony of The Sea, dan Pedestrian Bundaran Timur.
Perusahaan juga akan membangun Dufan Hotel, New Sea World Ancol, Ancol Residence, dan Ocean Fantasy. "Pedestrian ini adalah di lahan kita yang sekarang sudah ada," kata Direktur Utama Pembangunan Jaya Ancol Teuku Sahir Syahali.
Lokasi Reklamasi Ancol Serupa dengan Pulau K dan L?
Sikap Anies ini berbeda dengan reklamasi Teluk Jakarta yang telah ia cabut izinnya. Menurut dia, proyek reklamasi itu hanya dinikmati segelintir orang saja. Lain halnya dengan perluasan taman rekreasi di Ancol.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah pun berpendapat serupa. “Perluasan daratan Ancol adalah kawasan rekreasi masyarakat. Jadi, kami mengutamakan kepentingan publik,” ucapnya kepada Tirto.id.
Pemerintah provinsi bakal memanfaatkan tanah hasil perluasan Ancol untuk kepentingan publik, termasuk membangun museum internasional sejarah Rasulullah SAW dan peradaban Islam. Saefullah berpendapat proyek ini tidak mempengaruhi produktivitas dan aktivitas nelayan di sekitar kawasan.
Proyek perluasan lahan Ancol mendapat lampu hijau dari salah satu basis pendukung terbesar Anies, yakni Persaudaraan Alumni 212 (PA 212). Melansir dari Pikiran Rakyat, Ketua Media Center PA 212 Novel Bamukmin menyatakan dukungannya pada proyek ini lantaran dianggap pro kepentingan publik, bukan asing.
(Baca: Ancol Dibuka Kembali Besok, Selain Warga Jakarta Dilarang Masuk)
Namun, sejumlah pihak melihat adanya kejanggalan dari keputusan yang diteken Anies pada Februari lalu tersebut. Anggota DPRD dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Viani Limardi menyatakan kejaganggalannya terhadap Kepgub tersebut. Penyebabnya, Anies tidak menyertakan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 121 Tahun 2012 dan Peratuan Daerah Nomor 1 Tahun 2012.
Padahal sebelumnya, kedua produk hukum itu selalu disebut pada proyek reklamasi. Pergub 121/2012 berisi tentang Penataan Ruang Kawasan dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Di dalamnya tertuang aturan soal batasan ruang, arah pengembangan, struktur ruang, dan pola ruang reklamasi. Pergub merupakan turunan dari Perda 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Viani juga melihat anomali proyek ini. Lokasi pengerjaan proyek perluasan Ancol berada di tempat yang sama persis dengan Pulau K dan Pulau L reklamasi Teluk Jakarta.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak juga berpendapat Kepgub itu tidak didasari peraturan daerah mengenai rencana detil tata ruang (RDTR) dan peraturan zonasi. Bahkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan peraturan zonasi tidak memuat pengembangan/perluasan/reklamasi Ancol, hanya pengembangan Dufan.
Yang terjadi Kepgub tersebut hanya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Keistimewaan DKI Jakarta, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. "Padahal surat keputusannya mengenai zonasi," kata dia.
(Baca: Masih Susun Strategi Bertahan, Jaya Ancol Tak Akan PHK Karyawan)
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berpendapat proyek JEDI seharusnya tidak terkait dengan reklamasi Ancol. "Reklamasi ya reklamasi. JEDI ya JEDI. Hanya kebetulan JEDI disyaratkan ada tempat pembuangan," kata Komisaris Utama Pertamina itu kepada Kompas.com.
Ia juga tak yakin material hasil pengerukan sungai cocok menjadi lahan reklamasi. Pasalnya, tanah untuk reklamasi membutuhkan pasir. Ahok pun berpendapat lokasi reklamasi Ancol tak berbeda dengan Pulau K dan L.
Nelayan Terkena Dampak Negatif Reklamasi Ancol
Sejumlah nelayan di Teluk Jakart mengatakan reklamasi pesisir pantai Ancol sudah berjalan sejak belasan tahun. “Dulunya di sini semua laut, tidak seperti sekarang ini,” kata Daeng Darwis, saat ditemui Antara pada Sabtu lalu.
Daeng sudah menjadi nelayan dan mengoperasikan kapal di teluk Jakarta sejak puluhan tahun lalu. Ia juga menyewakan kapal untuk mengangkut para pekerja yang memindahkan pasir pantai dari tongkang ke kapal kecil, menuju pantai Ancol.
(Baca: Jokowi Perintahkan Bawahannya Atasi Kenaikan Kasus Corona di Jakarta)
Setiap hari beberapa truk bermuatan hasil kerukan lumpur sungai dibuang ke lokasi reklamasi di pesisir pantai Ancol. Hal senada disampaikan Reza, salah seorang nelayan pukat kambang yang turut menyaksikan perjalanan reklamasi di pesisir pantai Ancol.
Akibat reklamasi itu, puluhan nelayan itu merasakan dampak karena semakin susahnya akses mereka untuk mendapatkan tempat berlabuh kapal. "Sebagian besar nelayan paham dampak reklamasi, tetapi tidak tahu menyampaikan harapan dan masukan kepada siapa," kata Reza.
Penulis: Muhamad Arfan Septiawan (magang)