3 Bulan Adaptasi Baru: Kasus Covid-19 Melonjak & Masih Terancam Resesi

Image title
3 September 2020, 18:50
Ilustrasi. Tiga bulan upaya pemerintah menggerakkan ekonomi melalui penerapan adaptasi hidup baru belum mampu membuat Indonesia terhindar dari resesi. Sebaliknya, kasus Covid-19 terus melonjak.
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Ilustrasi. Tiga bulan upaya pemerintah menggerakkan ekonomi melalui penerapan adaptasi hidup baru belum mampu membuat Indonesia terhindar dari resesi. Sebaliknya, kasus Covid-19 terus melonjak.

Tes pun belum merata dan masih didominasi Ibu Kota. Data Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menyatakan, jumlah orang yang diperiksa sepanjang Agustus mencapai 138 ribu orang atau 54,1% dari total tes nasional di bulan sama.

Rendahnya kapasitas tes tersebut, selaras dengan asumsi Pendiri KawalCovid-19, Ainun Najib terkait penyebab terus meningkatnya positivity rate di Indonesia. Asumsi lainnya adalah karena penyebaran memang terus meluas.

Ainun pun meragukan data penurunan kasus aktiv Covid-19 di Indonesia dari 81,57% pada April menjadi 23,64% pada Agustus sebagai pertanda pasien sembuh meningkat. Menurutnya, itu semata karena perubahan kriteria pasien sembuh.

Pada Juli lalu, pemerintah mulai mengadopsi standar WHO untuk discharge pasien, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020. Ainun menyatakan melalui peraturan ini pasien tanpa gejala hingga gejala sedang bisa dinyatakan sembuh tanpa melakukan pemeriksaan PCR ulang.

Sebaliknya, kata Ainun, pasien hanya perlu mengisolasi diri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis terkonfirmasi. Berbeda dengan sebelumnya yang seorang pasien dinyatakan negative setelah tes PCR sebanyak dua kali.

“Itu yang terkesan menurunkan dan membuat seolah kasus aktif Covid-19 Indonesia melandai,” kata Ainun dalam webinar ‘6 Bulan Covid-19 di Indonesia, Kapan Berakhirnya?’ yang diselenggarakan Katadata.co.id, Kamis (3/9).

Ekonomi Masih Terancam Resesi

Harapan pemerintah untuk membalikkan kondisi perekonomian melalui pelonggaran aktivitas masyarakat memang mulai terlihat berhasil. Misalnya dari indikator Purchasing Manager’s Index (PMI) yang terus meningkat dari Juni-Agustus seperti dalam Databoks di bawah ini:

Peningkatan PMI tersebut menunjukkan industri manufaktur mulai bergeliat. Artinya kegiatan produksi mulai berjalan lagi dan ada peluang tenaga kerja terserap kembali. Selain itu, menunjukkan sudah mulai ada permintaan dari masyarakat.

Mulai munculnya permintaan masyarakat juga tampak dari meningkatnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sejak PSBB dilonggarkan. Pada Juni, poin IKK sebesar 83,8 dan lebih besar dari Mei yang 77,8. Sementara pada Juli kembali meningkat menjadi 86,2. Artinya, ekspektasi konsumen terhadap kondisi perekonomian membaik.

Meski demikian, sinyal pembalikan tersebut belum mampu memacu pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua. Justru terkontraksi sebesar 5,32%. Indonesia pun terancam masuk ke jurang resesi pada kuartal ketiga, sebagaimana proyeksi sejumlah ekonomi yang menyatakan pertumbuhan masih akan tetap minus.

Salah satu yang memproyeksikannya adalah Ekonom Senior INDEF Faisal Basri, yakni sebesar 3%. Faktor utamanya adalah konsumsi rumah tangga yang belum akan pulih sepenuhnya. Padahal menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB. Sementara Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal memproyeksikannya minus 2% dan Menkeu Sri Mulyani sebesar minus 2%-0%.

Belakangan, pemerintah berupaya meningkatkan konsumsi masyarakat dengan memberikan stimulus tambahan. Antara lain pencairan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dan subsidi gaji pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta.

Pemerintah pun tengah merencanakan reformasi sistem keuangan guna mencegah krisis menjalar ke sektor keuangan. Perubahan yang akan terjadi seperti memgembalikan kewenangan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

UU BI pun akan direvisi yang isinya antara lain membentuk Dewan Moneter dan melibatkan pemerintah dalam pengambilan keputusan moneter. Hal ini menghapus Pasal 9 di UU saat ini yang menyatakan BI independen dalam menjalankan fungsinya.

Ekonom senior CORE Indonesia, Piter Abdullah menilai rencana reformasi sistem keuangan tak tepat dan cenderung terburu-buru. Sebaliknya, ia meminta pemerintah tetap fokus menangani wabah yang menurutnya adalah sumber utama krisis saat ini.

“Ini masalahnya apa, solusinya apa, enggak jelas,” katanya melansir Antara, Senin (31/8).

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...