Heboh Kebijakan Ekspor Benih Lobster Menteri Edhy sejak Awal Menjabat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta pada Rabu (25/11) dini hari. Edhy diciduk tim KPK ketika baru pulang dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan Edhy diciduk terkait dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster. Total, komisi antirasuah mengamankan 17 orang termasuk Edhy dan istrinya yakni Iis Rosita Dewi.
"Yang bersangkutan diduga terlibat korupsi penetapan izin ekspor baby lobster," ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam keterangan tertulis, Rabu (25/11) dikutip dari Antara.
Pembukaan ekspor benih lobster merupakan salah satu kebijakan strategis yang pertama dilakukan Edhy setelah menjabat Menteri Kelautan. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020.
Peraturan ini membatalkan larangan ekspor benih lobster yang dibuat menteri sebelumnya yakni Susi Pudjiastuti, dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016.
Dalam Pasal 3 dan 5 Permen tersebut, ekspor benih bening lobster puerulus diatur dengan sejumlah syarat. Beberapa syarat adalah eksportir harus menunjukkan bukti kemampuan budidaya lobster hingga pelibatan masyarakat lokal dalam pembudidayaan.
“Kegiatan itu ditunjukkan dengan panen berkelanjutan dan telah melepasliarkan lobster sebanyak 2% dari hasil pembudidayaan,” bunyi Pasal 5 Huruf c aturan tersebut.
Ide ini awalnya disampaikan Edhy setelah dua bulan menjadi menteri, tepatnya pada Desember 2019. Menurutnya, larangan ekspor benih lobster justru meningkatkan jumlah penyelundupan. Alasan lain, keterbatasan infrastruktur budidaya untuk membesarkan lobster.
"Kalau anda tanya saya, ya saya ingin (benih lobster) dibesarkan di sini. Tapi kami mempertimbangkan infrastrukturnya sesiap apa. Selama ini (ekspor lobster) terjadi kan tidak langsung ke Vietnam tapi melalui perantara," kata Edhy, Desember lalu.
Rencana Edhy tersebut langsung menuai banyak polemik. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menduga ada sindikat mafia dalam rencana kebijakan tersebut.
Alasannya, kebijakan tersebut tak masuk akal karena benih lobster dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga lobster yang sudah dewasa. "Belum dua bulan kabinet, larangan ekspor benih lobster dicabut. Padahal, lobster merupakan salah satu potensi ekspor yang besar," ujar Faisal pada Selasa 10 Desember 2019.
Susi juga ikut melontarkan kritik dan mengimbau pemerintah tidak tamak dalam memanfaatkan kekayaan alam. Menurutnya, Indonesia akan sangat diuntungkan jika mau bersabar membiarkan benih-benih lobster itu tumbuh di lautan dan menjualnya ketika sudah besar.
Sebaliknya, menjual benih lobster hanya akan menimbulkan kerugian besar. Selain harganya lebih murah dibanding lobster dewasa, penjualan benih akan membuat populasinya menurun di masa depan. "Lobster yang bernilai ekonomi tinggi tidak boleh punah, hanya karena ketamakan kita untuk menjual bibitnya,” kata Susi.
Meski demikian kebijakan ini mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden meminta semua pihak melihat kebijakan ekspor benur lobster ini dari efek kemanfaatannya.
“Bagaimana tetap menjaga lingkungan agar lobster itu tidak diselundupkan, tidak dieskpor secara aur-auran, tapi juga nelayan dapat manfaat dari sana, nilai tambah ada di negara kita,” kata Jokowi mengomentari polemik tersebut pada Desember lalu.
Izin Perusahaan Rekan Partai
Bermodalkan dukungan itulah, Edhy kemudian merealisasikan aturan pembukaan benur lobster. Izin ekspor diberikan kepada beberapa perusahaan meski belakangan keramaian kembali muncul lantaran ada beberapa di antaranya milik kader Partai Gerindra.
Dikutip dari laporan Majalah Tempo, Senin (6/7) lalu, KKP memberikan izin ekspor benih lobster terhadap 30 perusahaan yang terdiri dari 25 perseroan terbatas, tiga persekutuan komanditer (CV) dan dua unit usaha dagang. Nama-nama sejumlah kader Partai Gerindra diduga menjadi pemilik perusahaan tersebut.
Meski mengakui beberapa perusahaan milik kader partai besutan Prabowo Subianto itu, namun Edhy menyatakan pemberian izin telah melalui prosedur yang melibatkan para ahli.
"Mungkin tidak lebih dari lima orang yang saya kenal, yang 26 orang itu semua orang Indonesia kebetulan salah satunya orang Gerindra," kata Edhy dalam rapat kerja bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (6/7).
Edhy menegaskan perusahaan yang mendapat izin ekspor bukanlah kerabat atau keluarganya. "Saya tidak peduli akan dihina seperti apa mengelola negeri, selama saya sangat yakin tujuan mulia untuk membela rakyat saya tidak peduli yang penting rakyat makan," kata dia.
Namun kejadian yang menimpa Edhy pagi tadi kembali memantik riuh. Wakil Ketua Komisi Perikanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dedi Mulyadi mengklaim sejak awal tak setuju kebijakan tersebut.
Alasannya, kepentingan untuk menjaga eksositem laut. Kedua, negara tujuan ekspor adalah Vietnam yang merupakan kompetitor RI di bidang kelautan. "Karena kalau benih lobster sudah dewasa, nelayan bisa menangkapnya dengan murah dan bisa menjualnya dengan mahal."