Nasib Produsen Miras Lokal Setelah Jokowi Batalkan Izin Investasi
Ada sebuah desa di Bali yang mayoritas warganya berkecimpung dalam usaha yang terkait dengan minuman keras. Tapi, jangan bayangkan bisnis miras di sini sebagai industri padat modal dengan teknologi serba canggih.
Desa itu bernama Tri Eka Bhuana yang berada di Sidemen, Kabupaten Karangasem. Dari sekitar 500 kepala keluarga di desa ini, 400 di antaranya merupakan penyadap tuak. Setiap hari mereka memanjat pohon kelapa untuk menyadap nira atau cairan manis dari tandan bunganya.
Cairan tuak itu kemudian dikumpulkan dan difermentasi dengan media berupa serbuk sabut kelapa atau kulit kayu bayur. Selanjutnya, pekerja akan melakukan proses penyulingan.
Seluruh proses ini dilakukan secara tradisional, memasaknya pun dengan kayu bakar. Fasilitas penyulingannya dimiliki oleh beberapa keluarga yang menjalankannya secara turun-temurun.
Pemerintah Bali cukup terbuka terhadap produksi arak tradisional. Namun, harapan sempat membuncah saat Presiden Joko Widodo memberi lampu hijau untuk investasi.
Artinya, ada pengakuan dari pemerintah pusat. "Pemerintah mempunyai tujuan mulia, demi UKM yang ada di pedesaan," kata Tokoh Desa Tri Eka Bhuana, I Nyoman Masta, Rabu (3/3).
Ia berharap, aliran modal bisa menghadirkan teknologi untuk mempercepat proses produksi. Selain itu, investasi industri miras diharapkan bisa membantu proses pengemasan dan pemasaran.
Arak Bali telah cukup dikenal di kalangan wisatawan baik lokal maupun asing. "Arak bisa dikonsumsi sebagai bahan campuran (di hotel dan kafe). Misalkan arak, ditambah spirit, jadi cocktail," ujarnya.
Dengan kemampuan produksi dan distribusi yang lebih baik, bukan tak mungkin arak Bali bisa menembus pasar ekspor. "Kalau diserahkan ke masyarakat desa, sumber daya manusia sangat minim. Tidak mungkin mampu mengelola secara profesional," kata Masta.
Arak Bali bukan hanya diproduksi di Desa Tri Eka Bhuana. Bahannya pun berbeda-beda. Arak Bali di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, dibuat dari nira pohon lontar.
Bukan hanya Bali, Daerah lain seperti Nusa Tenggara Timur juga memiliki miras lokalnya sendiri. Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebut NTT memiliki Sopi yang tuaknya merupakan hasil fermentasi tuak yang disadap dari pohon lontar. Sopi juga dikenal hingga Sebagian wilayah Maluku hingga Papua.
Bahlil menyatakan, pembukaan investasi pada industri miras semula dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah faktor. Di antaranya, masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat mengenai kearifan lokal di beberapa daerah.
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan diolah untuk produk ekspor, maka dilakukan (pembukaan investasi dengan syarat)," ujar dia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (3/2).
Bagaimanapun, konsumsi miras di Indonesia sangat rendah dibanding beberapa negara Asia lainnya. Simak Databoks berikut:
Pembukaan izin investasi miras tertuang dalam Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang ditandatangani pada 2 Februari 2021. Di dalamnya, Lampiran III mencantumkan 46 bidang usaha yang terbuka untuk investasi baru dengan persyaratan tertentu, termasuk industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt.
Investasi pada ketiga bidang tersebut dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Penanaman modal di luar wilayah tersebut dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.
Sebulan kemudian, Presiden Joko Widodo mencoret miras dari lampiran regulasi tersebut. Investasi miras batal dibuka.
Apa dampaknya?
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI) Ipung Nimpuno mengatakan, aturan investasi untuk industri miras kini kembali "abu-abu".
Pemerintah pusat kembali melarang investasi untuk industri miras. Sementara, sejumlah pemerintah daerah mengizinkan investasi untuk industri miras.
Industri miras skala kecil pun mengeluh ke Kementerian Perindustrian (Kemenperin) lantaran izin yang dikantongi hanya tingkat daerah. "Keluhan itu banyak. Tapi, Kemenperin tidak bisa (terbitkan izin) lantaran industri miras masuk DNI (Daftar Negatif Investasi)," kata dia.
Biasanya, izin diterbitkan oleh bupati atau wali kota setempat. Prosedur ini telah berlaku di beberapa daerah, seperti di Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara.
Oleh karena itu, banyak pengrajin miras lokal yang tetap berproduksi. Di antara miras lokal tersebut disebutnya telah memasuki pasar internasional serta menyerap tenaga kerja berjumlah ribuan orang. Hasil penjualannya bisa menyumbang pendapatan daerah.
Ia pun menilai, Perpres 10/2021 tidak perlu dipermasalahkan lantaran izin investasi hanya dibuka di empat daerah dengan penduduk mayoritas non-muslim. "Jadi sejalan dengan local wisdom area itu," ujar dia.
Selain itu, kebijakan pemerintah yamg maju-mundur bisa membuat investor ragu untuk memanamkan dananya di Indonesia. Padahal, investor membutuhkan kepastian hukum dan usaha.
"Pandangan investor kalau sudah ada aturan, kemudian dicabut, kan repot. Itu preseden tidak bagus," kata Ipung.