Cek Fakta: Vaksin Covid-19 Memicu Efek Negatif dalam Jangka Panjang?
Perdebatan kerap muncul di masyarakat terkait efikasi dan efektivitas vaksin Covid-19. Beberapa kalangan menilai suntikan vaksin akan memberikan efek jangka panjang.
Lantaran itu ada masyarakat beranggapan akan lebih efektif mendapat kekebalan alami dengan menjadi penyintas Covid-19 dibandingkan mengikuti vaksinasi. Itu karena, keduanya dianggap memiliki efek jangka panjang terhadap tubuh.
Informasi yang bertebaran di media sosial makin menambah keyakinan mereka bahwa seseorang yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 tidak perlu lagi mendapatkan vaksin. Hal itu seiring anggapan bahwa kekebalan tubuh terhadap virus mematikan itu sudah terpenuhi dengan menjadi penyintas.
Penulusaran Fakta
Terkait hal tersebut, dokter pakar penyakit menular asal Amerika Serikat (AS), Faheem Younus menekankan efek jangka panjang yang ditimbulkan akibat vaksin adalah mitos. Faktanya, Covid-19 merupakan penyebab utama timbulnya efek samping bukan vaksin. Berikut cuitannya Younus di Twitter, Senin (13/9).
Myth: Vaccine cause “long-term side effects” so I’ll just get COVID to build natural immunity
Fact: COVID itself causes long term side effects, not the vaccine
~50% of COVID patients had at least one long term side effect 1- YEAR later
Wake up!https://t.co/xhhru9Jh1v— Faheem Younus, MD (@FaheemYounus) September 13, 2021
Mitos: Vaksin memiliki efek samping jangka panjang, jadi lebih baik terkena Covid saja untuk mendapat kekebalan alami.
Fakta: Covid justru menimbulkan efek samping, bukan vaksin.
Sekitar 50% pasien Covid mengalami setidaknya satu efek samping jangka panjang sampai setahun kemudian.
Sadar lah!
Dalam cuitan tersebut, Younus juga melampirkan hasil penelitian terkait efek samping yang dialami penyintas Covid-19. Di mana, pasien Covid-19 yang dipulangkan dari rumah sakit, memiliki konsekuensi atau dampak kesehatan yang berbeda-beda.
Penelitian dilakukan secara komprehensif kepada penyintas Covid-19, setelah 6 bulan dan 12 bulan dinyatakan negatif. Adapun waktu penelitian dilakukan sejak 7 Januari 2020 hingga 29 Mei 2020 terhadap pasien Rumah Sakit Jin Yin-tan di Wuhan, Tiongkok.
Hasilnya, dibandingkan dengan pria, wanita memiliki peluang rasio 1,43 atau 95% untuk kelelahan atau kelemahan otot, kecemasan atau depresi, hingga gangguan difusi. Selain itu, penyintas Covid-19 juga kerap menunjukkan tren gejala temporal terkait kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan.
Proporsi gejala cenderung menurun dari 68% di enam bulan pertama sejak dinyatakan negatif Covid-19, kemudian menjadi 49% setelah 12 bulan. Penurunan tersebut diamati dari berbagai kelompok pasien dengan tingkat keparahan penyakit berbeda.
Adapun efek seperti kelelahan atau kelemahan otot menjadi yang paling sering dilaporkan penyintas Covid-19 yang disurvei pada kunjungan kedua, atau 12 bulan setelah dinyatakan negatif. Proporsi gejala tersebut turun dari 52% pada 6 bulan pertama, menjadi 20% pada 12 bulan.
Sementara itu, ada banyak gejala signifikan yang baru akan berkurang dari waktu ke waktu misalnya, kelelahan atau kelemahan otot, tidur kesulitan, rambut rontok, gangguan penciuman, dan gangguan rasa. Selain itu, penyintas Covid-19 yang dinyatakan negatif dalam 12 bulan memiliki lebih banyak masalah dengan mobilitas, nyeri atau ketidaknyamanan, kecemasan atau depresi, serta memiliki gejala lebih umum.
Penelitian juga menyampaikan, bahwa sebagian besar penyintas Covid-19 memiliki pemulihan fisik dan fungsional selama satu tahun berlanjut. Penyintas juga membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk bisa memulai kembali ke aktivitas dan pekerjaan normalnya.
Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan bahwa vaksin dirancang membentuk kekebalan tubuh tanpa risiko terkena penyakit. Umumnya, sistem imun akan memerintahkan badan untuk bereaksi, sebab tekanan darah meningkat sehingga sel imun dapat bersirkulasi.
Merasakan efek samping menandakan bahwa vaksin sedang bekerja dalam tubuh. Meski demikian, tak mengalami efek samping bukan berarti vaksin tak efektif. Itu artinya, setiap orang merespons vaksin secara berbeda.
“Tak ada korelasi antara absennya efek samping reaktogenik dan efikasi vaksin. Jadi, siapa pun yang tak merasakan efek samping juga dilindungi vaksin,” ujar Wakil Dekan Kesehatan Global NUS Saw Swee Hock School of Public Health, Profesor Hsu Li Yang, dikutip dari The Straits Times.
Respons individu terhadap vaksin berbeda-beda. Vaksin tetap bekerja pada individu yang tak merasakan efek samping. Setidaknya 20% individu tidak merasakan efek samping setelah imunisasi.
Kesimpulan
Anggapan masyarakat yang menyatakan vaksin bisa memberikan efek negatif jangka panjang adalah tidak tepat. Pilihan untuk menjadi penyintas Covid-19 justru akan berisiko memperburuk kondisi kesehatan dalam waktu tertentu dan berisiko kematian.
Adapun pesan masyarakat yang menyatakan tidak perlu vaksin juga sudah dinyatakan hoaks atau informasi keliru oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI.
Konten cek fakta ini kerja sama Katadata dengan Google News Initiative untuk memerangi hoaks dan misinformasi vaksinasi Covid-19 di seluruh dunia.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan