Terkait Presidential Threshold, Puan Maharani Enggan Revisi UU Pemilu
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan tidak akan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan revisi UU sudah final dan tidak akan dibahas lagi sesuai dengan kesepakatan yang ada. Hal ini dikatakan oleh Puan ketika diminta pendapat terkait kemungkinan dicabutnya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
"Kita berharap keputusan yang sudah dilaksanakan tersebut bisa dihormati semua pihak," ujar Puan kepada wartawan di Kompleks Parlemen pada Kamis (16/12).
Terpisah, Anggota Komisi III Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan menyebut Presiden Joko Widodo dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) kalau revisi UU Pemilu tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hinca mengatakan hal tersebut menjadi penting dan perlu dilakukan kalau didesak oleh masyarakat.
Lebih lanjut, Hinca mengatakan presidential threshold 0% merupakan keinginan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sehingga sikap Fraksi Demokrat menginginkan agar terjadi perubahan.
"Keinginan masyarakat itu harus dibaca dalam suasana yang penting. Nah presiden bisa saja buat Perppu dan di DPR nanti kita bahas tentu kami setujui," ujar Hinca kepada wartawan di Kompleks Parlemen pada Kamis (16/12).
Hingga saat ini sebanyak 16 permohonan uji materi terhadap UU Pemilu telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 15 permohonan tersebut sebanyak 13 telah ditolak oleh MK, satu perkara masih dalam proses uji materi dan dua perkara baru diajukan. Satu gugatan yang saat ini diproses adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu kader Gerindra yakni Ferry Joko Yuliantono.
Ferry melalui kuasa hukumnya yakni Refly Harun memohon agar dilakukan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945. Permohonan didaftarkan pada tanggal 7 Desember lalu. Dalam permohonannya Ferry menyebut Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Presidential threshold diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam beleid tersebut, pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh partai atau koalisi partai yang memperoleh 20% kursi DPR di pemilu sebelumnya. Ketetapan ini sudah berlaku sejak Pemilu 2009 silam.
Selain Ferry, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga mengajukan permohonan yang sama terhadap MK pada 10 Desember lalu. Dalam dalilnya mereka menyebut membiarkan presidential threshold terus dipraktikkan sama artinya membiarkan bangsa terjebak dalam cengkraman politik oligarki, politik percukongan yang dapat membahayakan eksistensi bangsa.
"Itulah sebabnya, kendati sudah ditolak berkali0kali oleh Mahkamah, permohonan penghapusan presidential threshold ini tetap Pemohon ajukan," seperti tertulis dalam surat permohonan.
Terbaru, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga turut mengajukan permohonan yang sama kepada MK. Permohonan tersebut didaftarkan pada tanggal 13 Desember lalu. Dalam permohonannya, Gatot mengutip pernyataan dari beberapa tokoh masyarakat seperti Ketua MK Periode 2003-2009 Jimly Asshiddiqie, Anggota DPR Periode 2019-2024 Fadli Zon, Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva dan Wakil Ketua MPR Syarief Hasan.
Dalam dalilnya, Gatot mengatakan kondisi faktual Pemilu Presiden tahun 201 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan polarisasi politik yang kuat seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi.