Vonis Nihil Heru Hidayat Dianggap Keliru, Kejaksaan Agung Akan Banding
Kejaksaan Agung menyebut vonis nihil yang diputuskan Hakim Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat adalah suatu kekeliruan. Kejaksaan pun siap melakukan upaya hukum berupa banding untuk membatalkan keputusan.
Heru Hidayat dipidanakan terkait kasus korupsi PT Asabri dan tindak pidana pencucian uang.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi mengatakan upaya hukum yang akan dilakukan Kejaksaan Agung mengacu pada Pasal 240 KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Pasal 240 KUHAP ayat (2) menyebutkan jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan.
Supardi menjelaskan putusan yang adil bagi Heru Hidayat adalah sesuai dengan tuntutan yang telah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan, yakni hukuman mati.
"Dengan berbagai pertimbangan, kepentingan masyarakat, nasabah, dan yang lebih besar memandang bahwa tuntutan pidana hukuman mati itu paling tepat, tapi bagaimanapun kita hargai (putusan nihil)," ujar Supardi saat ditemui Katadata pada Selasa (18/1) malam.
Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis nihil ditambah kewajiban bayar uang pengganti Rp 12,6 triliun terhadap Heru.
Vonis ini berbeda dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta Heru dijatuhi hukuman mati.
Selain Pasal 240 KUHAP ayat (2), Supardi juga mengacu pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dalam sidang putusan Heru Hidayat, hakim menyebut bahwa Heru terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana.
Juga, melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan kesatu Primair dan Tindakan Pidana Pencucian Uang sebagaimana dalam dakwaan kedua Primair.
Namun, Hakim justru menjatuhkan pidana nihil lantaran hakim berpendapat bahwa orang yang telah dipidana mati atau seumur hidup tak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain kecuali pencabutan hak tertentu.
Selain itu, hakim menolak menjatuhkan hukuman mati lantaran Jaksa Penuntut Umum tidak membuktikan kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan Heru saat melakukan pidana.
Alasan lainnya, fakta persidangan menunjukkan bahwa ia melakukan tindak pidana saat situasi finansial aman.
“Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan sehingga menjadi alasan mengesampingkan tuntutan hukuman mati,” kata Ali.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah kemudian memerintahkan Penuntut Umum untuk melakukan upaya perlawanan banding terkait vonis Heru Hidayat.
Pasalnya, Kejaksaan menilai dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dengan kerugian Rp 16,7 triliun, Heru telah divonis penjara seumur hidup.
Namun, dalam perkara Asabri dimana kerugian negara lebih besar yakni Rp 22,78 triliun, Heru justru tidak divonis pidana penjara.
Kemudian dengan kemungkinan Heru mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus Jiwasraya dan mendapat potongan hukuman, maka Heru mendapat hukuman yang sangat ringan.
Padahal total Heru telah menimbulkan kerugian hingga Rp 39,5 triliun dari kasus Jiwasraya dan Asabri.
Majelis hakim juga dinilai tidak konsisten dalam pertimbangan terhadap terdakwa lantaran Heru terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Namun, tidak diikuti dengan menjatuhkan pidana penjara.
"Sudah dihukum seumur hidup dan ini ada perbuatan pidana lagi yang notabene memberikan andil kerugian yg begitu besar dan banyak masyarakat yang dirugikan. Maka hukuman yang pas sesuai tuntutan itu (hukuman mati). Ada bahan yang kita kaji sebagai bahan untuk upaya hukum," ujar Supardi.