Kejaksaan Ungkap Pinjaman Rp2,45 Triliun dari LPEI untuk Pabrik BFC
Tim Penyidik Kejaksaan Agung menemukan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberikan dana sebesar Rp 2,45 triliun kepada PT Krakatau Engineering, anak perusahaan PT Krakatau Steel, untuk pembiayaan pembangunan pabrik blast furnace (BFC).
Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Supardi, penerimaan dana tersebut merupakan bagian dari sindikasi Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), karena LPEI bukan lembaga perbankan. “Cuma dia juga meminjamkan,” ujar Supardi di kantornya, Jumat (13/5).
Dari pinjaman tersebut, hingga saat ini PT Krakatau Engineering diketahui masih belum mampu melunasi semua pembiayaan tersebut, karena terjadi beragam persoalan dalam proyek pembangunan pabrik tersebut. Akibatnya PT Krakatau Engineering diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 478 miliar.
“Jadi dari Himbara kan semuanya masih jadi barang itu. Nah kewajiban dari Krakatau Engineering kan mengangsur itu,” jelas Supardi.
Dalam kasus ini, tim penyidik tengah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian keuangan negara yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.
Tak hanya dengan BPKP, tim penyidik juga menggandeng oakar dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) untuk menyatukan persepsi terkait kerugian keuangan negara ini.
“Tadi sempat saya temui dari BPKP. Ada beberapa orang yang join di sini, gabung. Kemudian antara tim penyidik dan BPKP nanti akan ketemu dengan ahlinya dari ITS,” kata Supardi.
Selain pinjaman Rp 2,45 triliun, tim penyidik juga menemukan adanya aliran dana sebesar Rp 314 juta kepada Direktur Bisnis dan Operasi I PT Krakatau Engineering berinisial FP. Aliran dana tersebut diketahui dari transaksi yang bersangkutan pada BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Cilegon dalam kurun waktu 2013 sampai dengan 2016.
“Dari telaah rekening yang kita dapatkan. Itu kan ada. Itu transaksi apa? Kok ke sini?” tuturnya.
Meski dianggap mencurigakan, Supardi menjelaskan bahwa pihaknya masih memeriksa lebih lanjut untuk memastikan ada atau tidanya kickback atau imbal balik dari transaksi tersebut. Jika nanti ditemukan maka pihaknya akan mengembangkannya mengenai dugaan suap atau gratifikasi terkait transaksi tersebut.
“Fifty-fifty lah itu karena masih dicek hasilnya seperti apa,” katanya.
Hingga kini, tim penyidik masih melakukan pemeriksaan saksi terkait kasus ini. Pada Kamis (12/5), pemeriksaan dilakukan terhadap tiga saksi, yaitu: Kepala Departemen BUMN dan NIA Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Tahun 2012, inisial RFL; Project Procurement Manager PT Krakatau Engineering tahun 2013-2015, inisial MY; dan Karyawan PT Krakatau Engineering, inisial SDS.
Simak juga data mengenai kinerja keuangan Krakatau Steel:
RFL diperiksa terkait perannya dalam proses pembiayaan proyek blast furnace bersama bank sindikasi dan bank Himbara dengan limit fasilitas sebesar Tranche A: Rp 2,27 triliun dan Tranche B: USD 220 juta.
MY diperiksa karena memiliki wewenang dalam mengkoordinir tim procurement atau pengadaan barang/jasa untuk memilih dan merekomendasi seluruh subkontraktor pada pekerjaan proyek blast furnace dengan jumlah sekitar 500 sampai dengan 600 perusahaan subkontraktor dengan jumlah nilai keseluruhan kontrak mencapai Rp2,45 triliun.
Sementara SDS diperiksa terkait penyetoran uang tunai ke rekening Direktur Bisnis dan Operasi I PT Krakatau Engineering berinisial FP di BCA KCP Cilegon.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, I Ketut Sumedana dalam keterangannya pada Kamis (12/5).
Nilai kontrak pembangunan Pabrik Blast Furnace mencapai Rp 6,92 triliun. Krakatau Steel mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB dan LPEI. Namun pembayaran yang telah dilaksanakan ke pemenang lelang sebesar Rp 5,351 triliun.