ESDM Lirik Hidrogen Hijau Agar Industri Bisa Kurangi Emisi Karbon
Pemerintah tengah berusaha untuk mengurangi emisi karbon di sektor industri. Salah satu caranya adalah mengembangkan produksi hidrogen hijau sebagai pilar utama dekarbonasi industri.
Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mengembangkan teknologi penghasil hidrogen hijau yang nantinya akan aplikasikan di industri pembuatan semen, keramik atau kaca.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan hidrogen hijau memegang peranan strategis dalam mengejar target dekarbonisasi.
"Urgensi hidrogen hijau dinilai sama pentingnya dengan penyimpanan baterai (energy storage) di masa mendatang," kata Dadan dalam siaran pers, Kamis (16/6).
Hidrogen hijau adalah adalah hidrogen yang berasal dari air. Dengan bantuan listrik yang berasal dari energi angin dan surya, air diurai menjadi oksigen dan hidrogen.
Dari laman EnergyFactor Asia Pacific, hidrogen hijau bisa didapatkan melalui elektrolisis yang menggunakan energi terbarukan. Energi yang digunakan dalam produksi akan menentukan status ‘rendah karbon’ pada hidrogen yang dihasilkan.
Hasil kajian Kementerian ESDM dan pemerintah Jerman melalui Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit GmbH (GIZ) , potensi pasar hidrogen hijau di Indonesia sekitar 1.895 kT per tahun pada 2021.
Guna merealisasikan hal tersebut, ESDM telah memasukkan aturan pemanfaatan hidrogen dalam rancangan Undang-Undangn Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Mereka juga akan memberikan insentif keuangan bagi sektor publik maupun swasta yang ingin mengoptimalkan hidrogen hijau.
Komoditas ini juga dapat digunakan untuk menjalankan proyek industri seperi Urea, Amonia, Refinery, dan Methanol. Selain itu, pemanfaatan hidrogen hijau juga bisa diterapkan di perusahaan pembuatan biofuel, baja hijau, jaringan pulau, dan sel bahan bakar kendaraan berat.
Dadan mengatakan ada beberapa rencana investasi hidrogen hijau dan proyek percontohan yang sedang berjalan. Salah satunya adalah hibrida hidrogen hijau dari tenaga surya dan angin di Sumba Timur dengan skala 7-8 Mega Watt.
Ada juga proyek percontohan di Ulubelu, Lampung dengan memanfaatkan kondensat panas bumi. Proyek lainnya berada di Kalimantan Utara dan Papua dari pembangkit listrik tenaga air.
Ada pula pemanfaatan hidrogen hijau di Ibu Kota Nusantara pada tahun 2045 dengan perkiraan target 4.000 ton untuk transportasi umum dan 21.000 ton untuk sektor industri.
Namun, Dadan mengungkapkan ada hal yang harus lebih dulu dikerjakan dalam implementasi proyek hidrogen hijau. Beberapa di antaranya adalah penetapan kebijakan, akses sumber daya, pasar potensial, standar, ketersediaan teknologi hingga dukungan finansial.
"Tantangannya, bagaimana hidrogen hijau layak secara ekonomi, menarik secara finansial, dan berguna bagi masyarakat," kata Dadan.