ACWG G20: Transparansi Data Bisa Kurangi Potensi Korupsi
Teknologi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengadaan publik. Partisipasi publik ini dianggap perlu karena setiap tahunnya, pemerintah mengeluarkan sekitar US$ 13 triliun untuk kontrak, baik dari pengadaan alat tulis hingga pembangunan infrastruktur besar. Angka ini setara dengan 15% nilai Produk Domestik Bruto (PDB) global.
Senior Program Manager for Asia dari Open Contracting Partnership, Nanda Sihombing, menjelaskan pengadaan publik adalah resiko korupsi nomor satu yang menghantui pemerintahan. Lebih dari setengahnya, yakni senilai 57%, berupa kasus suap untuk kontrak pemerintahan. Bahkan pada empat bulan awal pandemi, seluruh dunia mengeluarkan lebih dari US$ 100 miliar untuk pengadaan terkait penanganan Covid-19.
Di Indonesia, korupsi dikarenakan pengadaan publik telah merugikan kas negara sekitar US$ 4 miliar per tahunnya. Dari seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK pada 2019, 80% di antaranya berkaitan dengan pengadaan publik. Bahkan, 33% perusahaan menyatakan untuk mengamankan kontrak dengan pemerintah, ada hadiah yang harus disiapkan.
“Dalam hal pengadaan, Indonesia menghabiskan US$ 300 miliar, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan peringkat kedelapan dalam anggaran kontrak publik,” jelas Nanda dalam side event Forum G20, Kelompok Kerja Anti-Korupsi alias Anti Corruption Working Group (ACWG), Selasa (5/7).
Untuk mengurangi risiko korupsi dalam pengadaan publik, teknologi dapat digunakan untuk meningkatakan partisipasi masyarakat, mulai dari akademisi, masyarakat umum, hingga auditor. Nanda menjelaskan tahap pertama yang harus dilakukan adalah standarisasi data. Setelah itu, data bisa disortir, disusun, dan ditayangkan secara visual.
“Semakin banyak informasi yang dapat kami publikasikan, semakin banyak potongan teka-teki yang jelas dan dapat diidentifikasi secara transparan,” kata Nanda.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar menjelaskan pertemuan ACWG putaran Ke-2 ini diikuti puluhan delegasi dari sembilan negara yang hadir secara langsung dan 10 negara dan satu entitas, yaitu Uni Eropa yang hadir secara virtual.
"Pertemuan ini bakal menjadi ajang berbagi pengalaman antarnegara untuk membangun budaya integritas pada pendidikan formal dan nonformal,” kata Lili dalam sambutannya.
Menurut Lili, upaya memberantas korupsi tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga, atau satu negara, karena kejahatan itu kerap terjadi lintas batas melibatkan negara dan pihak-pihak lainnya.
Oleh karena itu, partisipasi publik mulai dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, pelaku usaha, anak muda, dan kelompok nonpemerintah lainnya menjadi penting demi mendukung pemberantasan dan pencegahan korupsi, kata Lili.
Ia menjelaskan partisipasi publik dan pendidikan antikorupsi merupakan dua isu yang saling berkaitan karena kampanye dan edukasi antikorupsi perlu dukungan dan peran aktif masyarakat.
Korupsi merupakan salah satu tantangan ekonomi yang dihadapi negara-negara anggota G20. KPK yang mewakili Indonesia memimpin Forum ACWG mengusung pentingnya partisipasi publik dan pendidikan antikorupsi sebagai isu prioritas.
Isu itu telah diperkenalkan kepada delegasi G20 sejak ACWG Putaran Ke-1 di Jakarta dan mendapat dukungan dari seluruh delegasi G20.
Untuk pertemuan ACWG Ke-2 pada 5-8 Juli 2022, pembahasan mengenai partisipasi publik dan pendidikan antikorupsi bakal dirangkum menjadi kompendium atau kumpulan praktik-praktik baik dan pengalaman dari anggota G20.