Cukai Rokok Naik 10%, Pengusaha Tembakau Minta Pemerintah Kaji Ulang
Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024.
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) keberatan dengan tarif cukai rokok dan berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut.
Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono, mengatakan keputusan untuk menaikkan tarif cukai tersebut tidak sesuai dengan tujuan pemerintah untuk menjaga kelangsungan tenaga kerja dan keseluruhan rantai industri.
“Bagi kami kenaikan tarif sebesar 5% untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) sangat berat. Akan sangat bijaksana jika cukai SKT tidak dinaikkan, mengingat segmen ini merupakan sektor padat karya,” ujar Hananto Wibisono kepada Katadata.co.id, pada Senin (7/11)
Hananto mengusulkan untuk rokok mesin kenaikan tarif cukai seharusnya berkisar 5% sesuai dengan angka inflasi. Selama tiga tahun berturut-turut, industri hasil tembakau mengalami tantangan berat dengan kenaikan cukai yang jauh di atas inflasi.
“Bertanam tembakau adalah mata pencaharian utama kami, sehingga kami sangat bergantung pada industri tembakau nasional,” ujar Hananto.
Para petani tembakau lainnya berharap Presiden Joko WIdodo akan meninjau ulang untuk besaran-besaran kenaikan cukai ini. "Saya percaya pemerintah sangat memperhatikan nasib di rantai tembakau dari hulu ke hilir, termasuk tenaga kerja, petani tembakau, dan pabrikan," kata dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Kamis (3/11) mengumumkan kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
“Rata-rata (kenaikan tarif cukai rokok) 10%, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5% hingga 11,75%, SPM I dan SPM II naik di 12% hingga 11%, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5%,” ujar Sri Mulyani dikutip dari laman Sekretariat Presiden, Kamis (3/11).
Hantaman Bisnis Tembakau Tahun ini
Hananto mengatakan hasil panen tembakau mengalami kondisi yang kurang baik akibat iklim dan anomali cuaca. Kondisi ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas di daerah sentra-sentra pertembakauan seperti Temanggung, Madura, Jember, Lamongan, Tulungagung, Jombang hingga Lombok.
“Biasanya musim tanam tembakau berlangsung pada Juli-Agustus yang seharusnya kemarau. Namun, di beberapa daerah justru turun hujan yang menyebabkan tanaman tembakau mati,” ujar Hananto.
Hananto mengatakan kebijakan baru penghapusan pupuk subsidi bagi petani tembakau semakin menambah sengsaranya para petani. Meningkatnya harga pupuk menambah beban harga produksi tani.
Dia menjelaskan ada tiga jenis pupuk yang subsidinya dicabut oleh pemerintah yakni pupuk jenis ZA, SP-26, dan organik. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian yang ditetapkan pada 6 Juli 2022.
Padahal jenis pupuk, kata Hananto, sangat mempengaruhi kualitas hasil panen tembakau. Dia mengatakan harga satu sak pupuk ZA, saat bersubsidi senilai Rp 80.000. "Saat subsidi dicabut, harga satu sak pupuk ZA senilai Rp300.000,” ujarnya.
Kemarau basah membuat kapasitas hasil tanaman tembakau nasional hanya 30%-40% dari kondisi normal. Jika, luas lahan yang menghasilkan tembakau dapat mencapai 180.000-200.000 hektar (rata-rata satu hektar menghasilkan satu ton tembakau), maka volume panen tahun ini berada di kisaran 72.000-80.000 ton kemarau.
Penyusutan 27,7% dari target proyeksi di kisaran 261.011 ton. Hananto menuturkan, harga jual tembakau anjlok karena kualitas tembakau rendah yang diakibatkan oleh kondisi kemarau basah.
Angka tertinggi harga jual tembakau saat ini baru mencapai Rp 60.000 per kilogram (Kg). Ketika di tingkat produsen sudah mengambil langkah penghematan, imbasnya tentu dialami langsung para petani sebagai penyedia bahan baku tembakau.
Sejak beberapa tahun terakhir dari harga tembakau anjlok, grade atas pun tidak lagi dijual dengan harga tinggi, jatuh di harga Rp 60.000 per Kg. “Di tengah suramnya kondisi ini, masa depan petani tembakau semakin tak pasti akibat kenaikan cukai hasil tembakau (CHT),” kata dia.
Pabrikan kemungkinan mengambil langkah mengurangi biaya produksi dengan mengurangi biaya bahan baku tembakau. Sehingga harga beli tembakau ke petani semakin rendah. "Kinerja produksi rokok yang turun akibat kenaikan cukai juga berpengaruh pada penyerapan tembakau petani kami yang terus menyusut," kata dia.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tumbuh pesat hingga bulan kesembilan tahun ini. Penerimaan cukai hasil tembakau sepanjang Januari-September 2022 mencapai Rp 153,05 triliun.
Kenaikan penerimaan CHT pun tercatat meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir. Pada Januari-September 2019, realisasi penerimaan CHT hanya Rp 102,7 triliun.
Kemudian, realisasinya naik 8,53% (yoy) pada Januari-September 2020 menjadi Rp111,46 triliun dan naik 15,14% (yoy) menjadi Rp 128,33 triliun pada Januari-September 2021.