Indonesia Kekurangan Ribuan Dokter Spesialis, Kemenkes Terapkan AHS

Andi M. Arief
16 Desember 2022, 14:02
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, melaksanakan dialog interaktif bersama Direktur RSUD, Organisasi Profesi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, KPS dan Residen 7 Spesialis FKUI dan FK UNPAD, serta peserta PDGS angkatan 17 - 20 di Hotel Mercure Jakar
Kementerian Kesehatan
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, melaksanakan dialog interaktif bersama Direktur RSUD, Organisasi Profesi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, KPS dan Residen 7 Spesialis FKUI dan FK UNPAD, serta peserta PDGS angkatan 17 - 20 di Hotel Mercure Jakarta, Selasa, 13 Desember 2022.

Kementerian Kesehatan atau Kemenkes tahun ini membutuhkan 18.752 dokter spesialis, untuk mengisi posisi di sembilan jenis dokter spesialis dalam negeri. Dari jumlah tersebut, pemerintah menghitung lima kebutuhan terbesar dokter spesialis adalah bidang ilmu Obstetri Ginekologi, kesehatan anak, dan penyakit dalam.

Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi atau Ob-Gyn menjadi yang terbesar dengan kebutuhan 3.941 dokter. Dalam pengertian sederhana, Ob-Gyn adalah dokter khusus yang menangani ibu hamil dan persalinan. Jika menggunakan metode umum, kebutuhan dokter Ob-Gyn dapat terpenuhi dalam waktu 36 tahun, dengan catatan produksi dokter Ob-Gyn setiap tahunnya 234 orang seperti saat ini.

Demikian juga dengan kesehatan anak yang dibutuhkan 3.662 dokter dan dapat terpenuhi dalam 26 tahun ke depan. Kemudian penyakit dalam, dengan kebutuhan 2.581 dokter yang jangka waktu pemenuhannya hingga 23 tahun.

Namun demikian, sistem Academic Hospital System atau AHS ditaksir dapat mempercepat waktu pemenuhan menjadi 8 tahun atau pada 2030 untuk Ob-Gyn dan kesehatan anak, serta 6 tahun untuk dokter spesialis penyakit dalam. 

"Dokter spesialis kita kurangnya masih ribuan, terutama di daerah-daerah luar Pulau Jawa, sehingga kami akan melakukan akselerasi," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Rabu (14/12).

Sistem AHS menjadi salah satu akselerasi yang dimaksud Budi. Pasalnya, sistem tersebut menambah rasio dokter dosen dan dokter mahasiswa dalam program spesialisasi dari 1:3 menjadi 1:5. Artinya, produksi dokter spesialis dapat meningkat dua kali lipat. Pemenuhan dokter spesialis tercepat akan terjadi pada jenis Dokter saraf, yakni dari 7 tahun menjadi 4 tahun.

Sebagai informasi, Kemenkes menyoroti kebutuhan dokter spesialis pada sembilan jenis, yakni spesialis ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah, saraf, Ob-Gyn, ilmu kesehatan anak, ilmu penyakit dalam, ilmu bedah, anestesi dan terapi intensif, radiologi, dan patologi klinik.

Berikut data kebutuhan dokter spesialis masing-masing spesialisasi pada 2022:

  1. Ob-Gyn: 3.941
  2. Ilmu Kesehatan Anak: 3.662
  3. Ilmu Penyakit Dalam: 2.581
  4. Anestesi dan Terapi Intensif: 2.476
  5. Ilmu Bedah: 2.378
  6. Ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah: 1.282
  7. Patologi Klinik: 977
  8. Radiologi: 828
  9. Saraf: 617
 
PERTEMUAN KOORDINASI DAN EVALUASI PENDAYAGUNAAN DOKTER SPESIALIS
PERTEMUAN KOORDINASI DAN EVALUASI PENDAYAGUNAAN DOKTER SPESIALIS (Kementerian Kesehatan)

Selain akselerasi produksi, Budi telah berusaha meningkatkan pemerataan dokter spesialis di dalam negeri. Seperti diketahui, keberadaan dokter spesialis saat ini umumnya berpusat di kawasan perkotaan.

Oleh karena itu, Budi menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1952/2022. Secara singkat, beleid tersebut mengatur insentif bulanan yang didapatkan dokter spesialis.

Budi mengatur insentif bagi peserta program adaptasi dokter spesialis lulusan luar negeri di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (TPK) mencapai Rp 24 juta per bulan. Sementara itu, peserta yang bertugas di daerah biasa Pulau Sumatra, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat hanya mendapatkan insentif senilai Rp 7 juta per bulan.

Adapun, dokter spesialis lulusan luar negeri yang bertugas di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua selain daerah TPK mendapatkan insentif senilai Rp 12 juta per bulan. Selain itu, Budi menambahkan honorarium senilai Rp 4 juta per bulan bagi dokter spesialis yang mengikuti program tersebut.

Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah Puskesmas yang beroperasi tanpa dokter pada 2020 mencapai 6,9% dari total puskesmas di dalam negeri. Sementara itu, total rumah sakit umum daerah atau RSUD yang belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis mencapai 296 unit atau 41,58% dari keseluruhan RSUD. Sedangkan 378 RSUD lainnya telah memiliki seluruh jenis dokter spesialis tersebut yang dibutuhkan.

Saat ini, 10 provinsi yang memiliki dokter spesialis paling banyak adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Banten, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, Bali, dan Sumatra Selatan.

Sedangkan 10 provinsi dengan dokter spesialis paling sedikit adalah Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat, Kalimantan Utara, Gorontalo, Maluku, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah dengan rincian seperti terlihat pada grafik.

Ketujuh jenis dokter spesialis yang dimaksud adalah dokter spesialis anak, Ob-Gyn, penyakit dalam, saraf atau neurologis, anestesi, radiologi, dan patologi klinik. 

Provinsi dengan rumah sakit terbanyak yang telah memiliki semua jenis dokter spesialis adalah Jawa Tengah yang mencapai 47 RSUD. Sementara itu, provinsi dengan RSUD terbanyak yang belum memiliki semua jenis dokter spesialis adalah Sumatra Selatan atau sebanyak 17 unit.

"Rumah sakit daerah itu kan minimal punya tujuh jenis dokter spesialis, yang kurangnya ribuan. Kami sebaiknya aktif mencari dokter spesialis," ungkap Budi.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Kumaidi mencatat, setidaknya ada enam faktor yang membuat dokter spesialis saat ini enggan bekerja di luar Ibu Kota. Keterlibatan pemerintah daerah untuk menangani keenam faktor menjadi kunci untuk menyelesaikan persoalan.

KEMENKES TAMBAH KUOTA BEASISWA KEDOKTERAN
KEMENKES TAMBAH KUOTA BEASISWA KEDOKTERAN (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/hp.)

Adapun, keenam faktor yang dimaksud Adib adalah:

1. Sarana dan prasarana terbatas
Keterbatasan infrastruktur dasar dan fasilitas pendukung di wilayah kerja. Beberapa infrastruktur yang dimaksud adalah perlengkapan di ruang bedah.

2. Keterbatasan alat kesehatan dan obat
Adib menilai kemampuan RSUD di luar Ibu Kota masih minim dalam menyediakan kebutuhan dokter spesialis. Adib mencontohkan masih minimnya kekuatan RSUD untuk menyediakan alat cuci darah bagi pasien gangguan ginjal.

3. Tidak bertahan jangka panjang
Adib mengatakan pemerintah daerah cenderung tidak memberikan kepastian kepada dokter spesialis yang bekerja di daerah. Selain itu, insentif yang diberikan pemerintah daerah umumnya tidak cukup kuat untuk menahan dokter spesialis menetap di daerah.

4. Kerja sama pemerintah pusat dan daerah
Adib berpendapat pemerintah harus bekerja sama dalam menyusun kebijakan inovatif yang meningkatkan pemerataan distribusi dokter spesialis di dalam negeri.

5. Fasilitas dan lapangan kerja
Adib mencatat dokter spesialis umumnya telah berkeluarga. Oleh karena itu, kesempatan kerja bagi pasangan dokter spesialis di daerah menjadi pertimbangan dokter spesialis.

6. Insentif dan jenjang karir
Adib menilai jenjang karir di RSUD selain DKI Jakarta tidak memiliki kepastian. Selain itu, insentif di daerah cenderung lebih rendah.

Komitmen Kemenkes untuk melakukan transformasi sistem kesehatan dilakukan untuk memperbaiki sistem kesehatan, agar mewujudkan lima target dalam rencana pembangunan jangka menengah, yakni:

  • Meningkatkan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
  • Mempercepat perbaikan gizi masyarakat.
  • Memperbaiki pengendalian penyakit.
  • Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).
  • Memperkuat sistem kesehatan dan pengendalian obad dan makanan.

Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...