4 Alasan Hakim Putuskan Vonis Nihil untuk Benny Tjokro di Kasus Asabri
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis nihil kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro dalam perkara korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero) serta pencucian uang. Selain itu Bentjok juga dikenakan kewajiban membayar uang pengganti Rp5,733 triliun
"Mengadili, menyatakan terdakwa Benny Tjokrosaputro terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primer dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua primer. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana nihil," kata Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (12/1).
Vonis yang dijatuhkan hakim tersebut berbeda dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung. Dalam tuntutannya, JPU menuntut agar Benny Tjokrosaputro divonis hukuman mati dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp5,733 triliun, karena melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun dan pencucian uang.
Dalam penjelasannya, hakim mengatakan putusan nihil kepada Benny Tjokro didasarkan pada empat alasan. Selain itu hakim mengklaim, JPU disebut tidak pernah menuntut Benny Tjokro dengan hukum mati.
"Bahwa sejak semula penuntut umum tidak pernah mendakwa terdakwa pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga majelis hakim tidak dapat membuktikan unsur pasal 2 ayat 2 UU Tipikor,” ujar Hakim.
Dengan alasan itu, maka Putusan itu berdasarkan dakwaan kesatu primer Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primer Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Meski berdasar pertimbangan majelis hakim, terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana kesatu dan kedua primer, tapi undang-undang secara imperatif menentukan jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhi pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim sebagaimana pasal 67 KUHP," jelas hakim.
Adapun empat alasan majelis hakim menjatuhkan vonis nihil adalah pertama penuntut umum telah melanggar asas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan. Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana korupsi.
Alasan ketiga, berdasarkan fakta, majelis hakim, menilai terdakwa melakukan tipikor saat situasi negara aman. Sedangkan alasan keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan.
“Oleh karena itu, beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya," kata hakim.
Menurut majelis hakim, Benny Tjokrosaputro sudah dijatuhi hukuman seumur hidup pada 16 Oktober 2020 oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung, sehingga telah berkekuatan hukum tetap.
"Terdakwa telah menjalani sebagian hukuman dalam perkara tindak pidana korupsi Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tindak pidana korupsi dalam perkara Jiwasraya berbarengan dan dalam perkara PT Asabri, sehingga lebih tepat dikategorikan concursus realis atau meerdaadse samenloop, bukan sebagai pengulangan tindak pidana," katanya.
Dalam perkara ini, PT Asabri mendapatkan pendanaan dari dana program THT (Tabungan Hari Tua) dan dana Program AIP (Akumulasi Iuran Pensiun), yang bersumber dari iuran peserta ASABRI setiap bulan dan dipotong dari gaji pokok TNI, Polri, dan ASN/PNS di Kementerian Pertahanan sebesar 8 persen; dengan rincian untuk Dana Pensiun dipotong sebesar 4,75 persen dari gaji pokok dan untuk THT dipotong 3,25 persen dari gaji pokok.
Benny Tjokro dan delapan terdakwa lainnya melakukan investasi saham, reksadana, Medium Term Note (MTN) atau surat utang jangka menengah dan investasi lainnya yang berisiko tinggi dan memiliki kinerja tidak baik dan mengalami penurunan harga sehingga merugikan negara hingga Rp22,788 triliun. Sudah ada delapan orang terdakwa lain yang sudah divonis dalam perkara tersebut.