Jumlah Media Cetak Terus Merosot, Pers Hadapi Tantangan Distribusi
Jumlah perusahaan media cetak anggota Serikat Perusahaan Pers (SPS) terus merosot dari tahun ke tahun. Pada 2021, masih ada 593 media cetak yang terdaftar di serikat tetapi hanya tersisa 399 media pada 2022.
Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers, Januar P. Ruswita mengatakan tidak hanya jumlah media cetak yang merosot tetapi juga tirasnya. Pada 2021 misalnya, masih ada sekitar 7,5 juta eksemplar media cetak per tebit. Namun, angka itu anjlok menjadi sekitar 5 juta eksemplar per terbit pada 2022.
“Media cetak saat ini memang sedang berdarah-darah,” ujarnya, dalam diskusi bertajuk ‘Mau Dibawa Ke mana Industri Pers Kita’, Sabtu (4/2).
Januar mengatakan media cetak saat ini menghadapi tantangan berupa perubahan pola baca konsumen. Generasi muda kini tidak lagi berminat membaca koran atau majalah dan lebih memilih media online atau bahkan media sosial.
Hal ini pun membuat media cetak harus berinovasi agar tidak kehilangan pembaca. Januar menuturkan, media cetak misalnya tidak bisa lagi mengandalkan berita cepat (hard news) karena akan bersaing dengan media online.
Kendati demikian, Januar menyebut beberapa media cetak terutama di daerah-daerah masih bisa bertahan. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat kepercayaan terhadap media cetak yang justru meningkat.
Kekhawatiran soal kondisi pers sebetulnya bukan hanya terjadi di media cetak saja. Ketua Forum Pemred Arifin Arsyad menyebut media di Indonesia sedang dalam kondisi darurat karena persoalan distribusi.
“Dari dulu kita [pers] sudah canggih memproduksi berita sekaligus jalur distribusinya. Sekarang distribusi dipegang platform global,” ujarnya di forum yang sama.
Arifin bahkan secara terang-terangan kondisi pers sedang tidak baik-baik saja karena harus mengikuti ekosistem distribusi global. Akibatnya, tidak sedikit media yang memproduksi berita click-bait untuk menggaet lebih banyak pembaca. Ia pun mendorong media agar bisa berkolaborasi menciptakan ekosistem yang baik terutama dalam hal distribusi.
“Kita tersesat hampir 10 tahun. Sekarang media harus fokus pada jurnalisme berkualitas,” katanya.