Pemerintah Akui Sulit Golkan Regulasi Illegal Fishing di Forum AALCO
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Cahyo Rahardian Muzhar, mengakui adanya kendala dalam meloloskan klausul penguatan hukum illegal fishing ke dalam ketetapan Hukum Laut alias The Law of The Sea. Isu itu menjadi salah satu yang dibahas di forum Asian African Legal Consultative Organization (AALCO) ke-61.
Cahyo menjelaskan terdapat sejumlah negara anggota AALCO yang belum menentukan posisi terkait penguatan hukum praktik penangkapan ikan secara ilegal sebagai tindakan kejahatan terorganisasi internasional. "Tidak mudah karena banyak juga negara-negara Asia-Afrika yang memang tidak punya kepentingan dalam konteks illegal fishing," kata Cahyo di Nusa Dua Convention Center (NDCC) pada Selasa (17/10).
Cahyo menjelaskan keputusan beberapa negara yang belum menentukan sikap didasari oleh letak geografis negara yang tidak memiliki laut. Hal itu membuat tidak ada kewajiban negara tersebut untuk menjaga kedaulatan zona ekonomi eksklusif alias ZEE. Adapun anggota negara AALCO yang tidak memiliki laut yakni Nigeria, Nepal, Uganda dan Mongolia.
"Ya tidak ada kepentingannya atau ada negara-negara yang mungkin kapal-kapal penangkapan ikannya berasal dari negara mereka atau bendera kapalnya berasal dari negara-negara mereka," ujar Cahyo.
Adapun klausul regulasi yang menetapkan praktik illegal fishing sebagai tindakan kejahatan terorganisasi internasional diajukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pada forum AALCO ke-61 yang diselenggarakan di Nusa Dua Convention Center (NDCC) pada Senin (16/10). Dalam proposal The Law of The Sea paling anyar, penangkapan ikan secara ilegal memicu kerugian signifikan bagi kelangsungan ekosistem laut, populasi ikan, dan penghidupan masyarakat pesisir.
Proposal tersebut juga mencatat praktik penangkapan ikan secara ilegal mencapai 26 juta ton per tahun. Laporan Chasing Red Herrings menghitung dampak finansial dari penangkapan ikan secara ilegal mencapai US$ 23,5 miliar per tahun. Nominal tersebut belum menghitung kalkulasi tindakan kriminal seperti penghindaran pajak dan perusakan ekosistem laut.
"Memang belum ada titik terang. Kami banyak bicara dan juga melobi negara-negara yang punya kesamaan pandang atau kesamaan posis,” ujar Cahyo.
Ia mengatakan pemerintah akan terus mengupayakan agar isu illegal fishing menjadi perhatian serius. Hal itu dilakukan dengan terus berkoordinasi dengan negara-negara Asia Afrika yang punya kesamaan kondisi, yang punya laut juga.