Aktivis HAM Surati PBB Terkait Sisi Gelap Pembangunan Era Jokowi
Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia mengirimkan dua laporan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB terkait sisi gelap pembangunan di era Jokowi dalam dua modus represi.
Dua laporan yang dimaksud, adalah laporan alternatif koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk advokasi HAM internasional untuk isu ekonomi, sosial dan budaya. Laporan bertajuk 'The Dark Side of Indonesia's Development under Joko Widodo' ini, akan disampaikan kepada Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB, atau UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights.
Kedua, laporan alternatif untuk isu sipil dan politik, yang disampaikan kepada Komite Hak Sipil dan Politik PBB, dengan judul 'Repressive Developmentalism and Sectarian Populism in Indonesia'.
Dua laporan ini disusun oleh gabungan kelompok masyarakat sipil lebih dari 40 lembaga, dan akan menjadi salah satu bahan Komite HAM dan Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) untuk melakukan dialog strategis bersama pemerintah Indonesia pada 20-21 Februari dan 11-12 Maret 2024 di Jenewa, Swiss.
“Saya kira momentum ini menjadi sangat penting, karena kita bukan hanya melihat bagaimana Indonesia memenuhi kewajiban internasional dalam dua pokok hak sipil dan ekosob. Namun, juga dalam konteks politik Indonesia,” kata Perwakilan Franciscans International Budi Tjahjono, dalam konferensi pers yang dipantau secara daring, Minggu (11/2).
Menurutnya, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menunjukkan upaya memenuhi kewajiban-kewajiban hukum di tingkat Internasional sesuai dengan ratifikasi yang sudah dibuat.
Ia menjelaskan, dua laporan yang akan dilaporkan sekaligus ini tergolong penting. Sebab, ini baru kedua kalinya Indonesia menyampaikan laporan untuk pemenuhan hak ekosob maupun hak sipil. Budi menyebut, laporan ini juga menjadi evaluasi bagaimana pemerintahan yang sekarang ini memenuhi kewajibannya. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu dari 47 negara anggota Dewan HAM PBB, sehingga Indonesia harus menunjukkan upaya dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Dari sisis ekosob, Budi menyoroti hal yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, hak buruh, dan hak imigran yang menurutnya jangan sampai diutarakan secara normatif. Menurutnya, ada tendensi atau kecenderungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah lain, ketika ada pertanyaan yang berkaitan dengan ketidakmampuan pemenuhan hak, seringkali yang dilontarkan terkait kebijakan atau inisiatif yang sudah diambil, hanya jawaban normatif.
“Sebagai masyarakat sipil, kita harus mampu menunjukkan bahwa terkadang kebijakan tersebut tidak diambil atau tidak diputuskan, dengan mendengarkan pendapat dari masyarakat namun juga banyak kelemahan,” ujarnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa bagaimana kebijakan yang sudah diambil pemerintah tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya. Dalam dialog di Jenewa nanti, akan terlihat bagaimana pemerintah Indonesia bisa mengakui bahwa ada banyak ketimpangan yang belum bisa dipenuhi sampai sekarang ini.
Tidak hanya ekosob, ia juga berbicara mengenai hak sipil dan politik, yang sangat penting untuk diangkat. Karena ini merupakan review yang kedua setelah kurang lebih 10 tahun Indonesia tidak memberikan laporan terhadap bagaimana pembunuhan hak sipil dan politik di Indonesia.
Pada hak sipil dan politik inim, Budi menyampaikan perlunya perlindungan bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah konflik seperti Papua, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Kemudian mengenai hukuman mati, karena Indonesia tidak berhasil untuk menghapuskan hukuman mati sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban internasional Indonesia.
“Sehingga pada diskusi Maret nanti kita akan juga melihat bagaimana Indonesia memberikan jawaban mengenai ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajiban-kewajiban di tingkat nasional,” kata Budi.