Merawat Ekosistem Kebudayaan untuk Ekonomi Nasional

Nabilah Muhamad
8 Mei 2024, 11:42
Sejumlah pengunjung bermain di kawasan pantai Citepus, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (24/12/2023). Kawasan ini termasuk hasil pengembangan jasa ekosistem kebudayaan di tingkat daerah.
ANTARA FOTO/Henry Purba/agr/YU
Sejumlah pengunjung bermain di kawasan pantai Citepus, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (24/12/2023). Kawasan ini termasuk hasil pengembangan jasa ekosistem kebudayaan di tingkat daerah.
Button AI Summarize

Pukulan telak wabah Covid-19 pada 2020 menunjukkan betapa terpinggirkannya kebudayaan dalam pengembangan kebutuhan hidup masyarakat, terutama aspek pangan dan kesehatan. Dalam kacamata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), banyak orang menilai kebudayaan tidak memiliki nilai ekonomis dan tak berlandaskan ilmu pengetahuan.

Hilmar tak bermaksud mengesampingkan sains dan teknologi. Menurut dia, metode yang perlu dibangun adalah mengkombinasikan sains-teknologi dengan kebudayaan. ”Jadi, poinnya tidak mempertentangkan antara sains dan kearifan lokal, tetapi justru melihat kontribusinya satu sama lain,” kata Hilmar yang dikutip dari Harian Kompas, 28 Juli 2020.

Dalam jangka panjang, Hilmar melihat aspek kebudayaan yang terbangun dalam ekosistem dan terintegrasi dengan kebijakan pun bisa meningkatkan ekonomi dan mengurangi kesenjangan. 

Di level daerah, pengembangan budaya menciptakan perputaran uang yang tak sedikit. Jasa ekosistem budaya Teluk Ciletuh, misalnya, ditaksir mencapai Rp862,64 miliar per tahun. Adapun nilai ekonomi per satuan hektarenya (ha) sebesar Rp77,91 juta per tahun. Ini belum termasuk hitungan peredaran uang di hotel hingga wisata kuliner di kawasan tersebut.  

(Baca juga: Geliat Industri Budaya Dongkrak Ekonomi Rakyat)

Di level nasional, produk domestik bruto (PDB) dari sektor ekonomi kreatif Indonesia mencapai Rp1.280 triliun pada 2022. Angka itu berkontribusi 6,54% terhadap total PDB nasional, menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Nilai PDB itu pun menjadi rekor tertinggi baru dalam 13 tahun terakhir. 

Sandiaga Uno, Menparekraf, menyebut bahwa ekonomi kreatif Indonesia juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 17,7%. Dari jumlah tersebut, 58% pekerjanya diisi oleh perempuan dan 42% laki-laki. Tenaga kerja ekonomi kreatif pun lebih cepat pulih dibanding sektor lainnya saat pandemi melanda, karena sektor ini dinilai lebih inklusif dan mudah dimasuki oleh pelaku usaha baru. 

PDB ekonomi kreatif Indonesia dihitung berdasarkan nilai barang dan jasa 16 subsektor industri, di antaranya arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, film, dan fotografi.  Lalu kriya, kuliner, musik, fesyen, aplikasi dan game developer, penerbitan, periklanan, televisi dan radio, seni pertunjukan, serta seni rupa. 

Nilai PDB dari sektor ekonomi kreatif Indonesia pada 2022 naik 7,47% (year-on-year/yoy) jika dibandingkan dengan 2021 sebesar Rp1.191 triliun. Kontribusinya juga lebih tinggi, yakni 7,02% terhadap PDB nasional pada 2021.  

Pada 2021, sektor yang paling banyak berkontribusi adalah kuliner (Rp477,92 miliar), fesyen (Rp210 miliar), kriya (Rp174,32 miliar), televisi dan radio (Rp128,70 miliar), serta penerbitan (Rp72,49 miliar). Lima subsektor ini saja sudah menyumbang 89,31% dari nilai PDB ekonomi kreatif nasional pada 2021.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...