Transformasi Museum dan Cagar Budaya Tak Sekadar Menjaga Artefak
Hampir satu jam Tika menatapi lukisan-lukisan Butet Kertaredjasa di Museum Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Dalam salah satu ruangan bercat oranye tua, terpasang puluhan lukisan tangan monokrom seniman itu dengan unsur hewan, manusia, hingga tulisan. Semua karya ditaruh berhimpitan dengan tata letak tak beraturan.
“Ini menarik banget,” kata Tika dalam sambungan telepon, “karena diramu lebih modern.”
Karya lain Butet yang masih membekas di ingatannya adalah pameran digital bergerak dua dimensi. Tika menjelaskan, tampilan setiap ruangan disesuaikan dengan tema karya seninya.
Tika menilai semua karya yang terpasang di galeri bak magnet, bisa menarik mata pengunjung sehingga tak membosankan. Padahal, ruangan untuk memamerkan karya Butet pun tak banyak, hanya sekitar lima ruangan.
“Tadinya aku berpikir, Galnas [Galeri Nasional] seperti museum lawas. Tapi pameran digital yang dibantu pencahayaan atau lighting, ternyata jadi pemikat,” katanya kepada Katadata, Selasa (15/5/2024).
Tika mendapatkan tiket secara gratis, hanya perlu registrasi mandiri. Semua pelayanan di Galnas terasa cepat dan mudah baginya. Selain pameran Butet, dia juga mengunjungi pameran kolektif Tempatan oleh Empu Gampingan. Satu kunjungan dibatasi satu jam saja, sesuai kloter pendaftaran.
Kunjungan pada 8 Mei 2024 itu menjadi kali pertama Kartika Anwar, nama lengkap pengunjung berusia 40 tahun tersebut, menginjakkan kakinya di Galnas. Tika merupakan tamu jauh. Rumahnya di Bontang, Kalimantan Timur. Kunjungan itu pun dilakukan setelah dia merampungkan urusannya di Palembang, Sumatera Selatan.
“Rasanya banyak anak muda yang masuk, hanya beberapa orang tua. Semua pun tertarik, selain baca keterangan karya, mereka foto-foto karena menyenangkan,” kata pemilik media lokal ini.
Galnas menjadi salah satu objek dari 18 museum dan 34 cagar budaya yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU) Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek atau dikenal dengan Indonesian Heritage Agency (IHA).
Galnas bahkan diprioritaskan sebagai model percontohan pengelolaan berbasis BLU sejak 2023. Museum Nasional Indonesia dan Museum Benteng Vredeburg termasuk di dalamnya.
”Artinya, kami ubah wajahnya, rombak SDM-nya, hingga tata pamerannya. Jika sudah oke, uang juga settle, kami bisa benahi museum-museum lain,” kata Koordinator Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek Pustanto, seperti dikutip dari Harian Kompas, Sabtu (28/1/2023).
(Baca juga: Geliat Industri Budaya Dongkrak Ekonomi Rakyat)
Melalui BLU, tata kelola museum menjadi lebih cair. Pembiayaan museum juga tak lagi bergantung pada Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), sehingga proses birokrasi yang panjang dapat dipangkas. Museum juga dapat mengelola keuangannya sendiri dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
”Karena belum BLU, kami belum bisa [bergerak] lincah dan fleksibel untuk mengajak publik berkontribusi, baik kontribusi pemikiran maupun dana. Jika hanya mengharapkan APBN, tidak akan cukup,” kata Pustanto.
Ahmad Mahendra, Plt. Kepala IHA, mengatakan bahwa transformasi menyeluruh dalam mengelola ruang publik di museum dan cagar budaya yang meliputi narasi, lokasi, peninggalan, tata letak pameran, serta program-program yang ditawarkan menjadi proses yang krusial.
''Transformasi ini diarahkan untuk lebih dari sekadar pemeliharaan artefak, ini tentang reimajinasi museum dan situs warisan sebagai ruang komunal di mana pengalaman dapat dibagi dan narasi sejarah serta warisan budaya Indonesia dapat diperkaya dan diperluas,'' kata Mahendra dalam keterangannya, dilansir dari Republika, Senin (25/3/2024).
Berdasarkan statistik kebudayaan Kemendikburistek yang dihimpun Antara, pada 2023 transformasi yang dilakukan IHA menghasilkan 32 juta pengunjung domestik dan mancanegara serta ribuan jenis kegiatan inklusif yang berlangsung di museum dan cagar budaya. Jumlah tersebut meningkat 20-30% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
IHA bakal menetapkan tarif layanan utama dan tarif layanan penunjang pada museum dan cagar budaya pada Kamis (16/5/2024). Penetapan ini guna keberlanjutan dan pengembangan layanan, meningkatkan daya beli masyarakat, serta pengabdian masyarakat. Melalui penyesuaian nilai tarif ini, IHA dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas layanannya kepada masyarakat.
Penetapan tarif juga dibedakan untuk pengunjung dalam negeri dan luar negeri. Tiket turis asing dipastikan lebih mahal, dengan batas bawahnya sebesar 110% dari tarif pengunjung dalam negeri. Sementara untuk pengunjung domestik akan dibagi menjadi tiga kategori, yakni tiket masuk museum galeri berkisar Rp2.000–100.000, cagar budaya Rp5.000–550.000, serta pameran Rp20.000–350.000.
Selain itu, IHA juga menetapkan kebijakan tarif nol rupiah bagi pengunjung yang datang untuk penelitian, tamu negara, penyandang disabilitas, lansia, yatim piatu, serta pelajar yang tidak mampu.
Kebebasan IHA mengelola keuangan telah diatur Keputusan Menteri Keuangan nomor 318/2023 tentang Penetapan Museum dan Cagar Budaya pada Kemendikbudristek. IHA sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada 1 September 2023.
Kewenangan tersebut untuk mengoptimalisasi tugas dan fungsi IHA yang meliputi pengelolaan koleksi cagar budaya nasional, benda seni maupun bangunan bersejarah nasional; pelaksanaan registrasi koleksi museum dan karya seni; pelaksanaan pemeliharaan, pengamanan termasuk penyelamatan, pemanfaatan dan pengembangan koleksi; serta pelaksanaan kemitraan.
Menurut laporan Kemendikbudristek yang diterima Katadata, pendapatan sejumlah museum dan cagar budaya diproyeksikan naik signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Contohnya, Candi Borobudur ditaksir mengantongi pendapatan paling jumbo, yakni Rp16,79 miliar atau setara 58,22% dari total pendapatan museum dan cagar budaya di bawah IHA pada 2024.
Pendapatan Candi Borobudur juga diramalkan tumbuh 40% menjadi Rp27,93 miliar pada 2025. Pemerintah menyebut, kenaikan ini terjadi karena program Kerja Sama Pengelolaan Bagi Hasil yang telah berjalan dengan swasta.
Sejumlah museum dan cagar budaya lainnya seperti Museum Nasional Indonesia, Museum Benteng Vredeburg, hingga Kawasan Sangiran, pendapatannya juga diproyeksikan akan ikut meningkat sekitar 19-900% pada 2025. Kenaikan didukung oleh peningkatan infrastruktur yang dilakukan sejak 2024.
Sementara Museum Galnas akan tutup sementara pada 2025 untuk revitalisasi, sehingga dipastikan tak ada pendapatan pada tahun depan. Sebelumnya, estimasi pendapatan museum ini mencapai Rp369,3 juta pada 2024.
(Baca juga: Merawat Ekosistem Kebudayaan untuk Ekonomi Nasional)
Selain Indonesia, Inggris juga mengelola warisan budaya dan bisa memberikan imbal hasil keuangan untuk perekonomian negaranya. Namun dalam konteks warisan budaya Inggris, penting diketahui bahwa tak sedikit warisan budayanya yang berasal dari kolonialisme atau negara-negara koloninya serta perbudakan, seperti yang diwartakan The Guardian.
Menurut data yang diolah Historic England, sektor warisan budaya di Inggris diproyeksikan menyumbang nilai tambah bruto (NTB) sebesar £45,1 miliar atau setara Rp913,18 triliun (asumsi Rp20.248 per £) pada 2021. Sektor ini turut menyerap lebih dari 538 ribu pekerja.
Laporan yang dipublikasikan pada 1 Desember 2023 itu menyebutkan, setiap £1 NTB yang dihasilkan dari sektor warisan budaya, maka sebesar £1,93 masuk ke dalam kantong pendapatan perekonomian yang lebih luas. Hal ini didorong oleh dampak pengeluaran tidak langsung yang terjadi ketika pekerja, pengunjung, dan bisnis di sektor ini membelanjakan uangnya untuk mendukung rantai pasokan.
Nilai NTB Inggris dari sektor warisan budaya ini diukur berdasarkan nilai barang dan jasa di empat subsektor, yakni konstruksi yang menyumbang 48% terhadap perekonomian negara; perpustakaan dan museum 21%; jasa arsitektur dan teknik 13%; serta administrasi publik dan pertahanan sebesar 4,8%.
Berkaca dari Inggris, Indonesia sebenarnya bisa mengembangkan peluang di sektor pengembangan museum dan cagar budaya. Pengamat budaya dan pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Chusmeru, menilai bahwa hal yang membuat sektor warisan budaya Inggris berkontribusi besar terhadap perekonomian negara adalah nilai produknya.
Di samping menaikkan nilai produk, poin pengembangan lainnya adalah memobilisasi gerakan kunjungan. Di titik inilah Chusmeru menilai fungsi kolaborasi begitu penting, ada pihak pemerintah, swasta, komunitas, pegiat sosial yang bisa dihubungkan. Kolaborasi yang apik mampu meningkatkan pengalaman pengunjung–beserta jumlah kunjungannya–terhadap museum serta cagar budaya nasional.
“Saya punya asumsi kalau museum dan cagar budaya dikelola secara profesional dan bisa dikembangkan jadi destinasi wisata sejarah dengan konsep kekinian, saya yakin kunjungan museum akan meningkat,” kata Chusmeru melalui sambungan telepon pada Rabu (16/5/2024).
(Baca juga: Bukan Profit, Investasi Budaya untuk Pembangunan Manusia)