Kerugian Negara di Kasus Timah Naik Jadi Rp300 Triliun, Ini Rinciannya
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengoreksi nilai kerugian negara dalam kasus korupsi di PT Timah dari Rp 271 triliun menjadi Rp 300, triliun. Deputi Bidang Investigasi BPKP Agustina Arumsari mengatakan nilai terbaru itu didapat setelah BPKP melakukan kajian lanjutan.
Agustina mengatakan perhitungan kerugian negara didasarkan hasil koordinasi dengan melibatkan enam orang ahli. Kerugian menurut Agustina muncul lantaran merusak lingkungan. Laporan lengkap mengenai dugaan kerugian negara di kasus korupsi Timah ini telah diserahkan BPKP kepada Kejaksaan Agung.
“Dalam konteks konteks neraca sumber daya alam dan lingkungan kerusakan yang ditimbulkan dari tambang ilegal merupakan residu yang menurunkan nilai aset lingkungan secara keseluruhan,” ujar Agustina dalam konferensi pers di kantor Kejaksaan Agung, Rabu (29/5).
Agustina menjelaskan terdapat tiga kelompok besar kerugian negara yang dicatat oleh BPKP. Kerugian pertama berkaitan dengan kemahalan harga sewa smelter oleh PT Timah senilai Rp 2,28 triliun. Kerugian kedua berkaitan dengan penjualan bijih timah ilegal oleh PT Timah pada mitra senilai Rp 26,64 Triliun.
Selanjutnya kerugian keuangan negara ketiga adalah kerusakan lingkungan senilai Rp 271,06 Triliun. Kerugian kelompok ketiga ini dihitung berdasarkan dampak lingkungan yang timbul dan menyebabkan lahan mengalami penurunan fungsi.
Adapun Guru Besar dan Ahli Lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo salah satu pakar yang dilibatkan BPKP dalam menghitung kerugian negara mengatakan pengukuran dilakukan secara ilmiah dengan mengambil sampel pada beberapa lokasi tambang. Ia mengatakan tim juga melakukan rekonstruksi dan melihat data dari citra satelit untuk mengukur tingkat kerugian yang ditimbulkan.
Nilai Kerugian Negara jadi Dalil dalam Dakwaan
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengatakan total kerugian negara yang telah disampaikan BPKP akan ditindaklanjuti dalam tahap berikutnya. Ia menyebutkan nilai kerugian negara tersebut akan masuk dalam dakwaan jaksa dan tidak masuk dalam dakwaan kerugian perekonomian negara.
Menurut Febrie Kejagung sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendalilkan adanya kerugian negara dalam sidang. Ia menyebut setelah adanya hasil audit dari BPKP selanjutnya tidak ada lagi perdebatan apakah kerugian dalam kasus timah dapat disidangkan.
“Ini adalah kerugian riil yang harus dituntut jaksa sebagai kerugian negara,” ujar Febrie.
Di sisi lain Febrie mengatakan Kejagung belum bisa menjelaskan siapa saja pihak yang mendapatkan keuntungan dari korupsi yang dilakukan. Menurut Febria saat ini penyidik di lapangan masih melakukan penelusuran sehingga belum bisa diungkap ke publik.
Hingga saat ini penyidik telah melakukan pemblokiran terhadap 66 rekening, 187 bidang tanah atau bangunan, serta menyita sejumlah uang tunai, 55 unit alat berat dan 16 unit mobil dari para tersangka. Selain itu, tim penyidik juga telah melakukan penyitaan terhadap aset berupa 6 smelter di wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan total luas bidang tanah 238.848 m2, serta satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah Kota Tangerang Selatan.
Lalu untuk 6 smelter akan ditindaklanjuti dengan pengelolaan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga tindakan penyitaan yang dilakukan tetap menjaga nilai ekonomis dan tidak memberikan dampak sosial. Kejagung juga telah menetapkan 22 orang sebagai tersangka dan memeriksa 200 saksi.
Tersangka baru yang ditetapkan hari ini adalah eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Aryono.. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi, mengatakan penetapan Bambang sebagai tersangka didasarkan hasil pengembangan kasus.