Kontroversi Vonis Bebas Anak DPR Ronald Tannur di Kasus Pembunuhan
Putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada putra anggota Dewan Perwakilan Rakyat nonaktif Edward Tannur, Gregorius Ronald Tannur menuai kontroversi. Dalam putusannya majelis hakim menyatakan tuduhan kepada Ronald dalam pembunuhan kekasihnya Dini Sera Afriyanti tidak berdasar hukum.
Sejumlah tokoh menyatakan putusan itu janggal dan sarat kepentingan. Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya pun menyatakan kasasi terkait vonis tidak bersalah itu.
Dalam perkara itu Jaksa sebelumnya mendakwa dengan Pasal 338, 351 ayat 1 dan 3, serta 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bunyi dakwaan adalah melakukan penganiayaan berat di sebuah tempat hiburan malam terhadap korban yang saat itu berusia 29 tahun.
Dari rekaman kamera pengawas (CCTV) di parkiran tempat hiburan yang berlokasi Surabaya Selatan tersebut, terdakwa Ronald Tannur terlihat sempat menelantarkan kekasihnya. Rekaman lainnya ia memang kemudian membawa korban ke rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia.
Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang diketuai Erintuah Damanik menilai penyebab kematian korban karena banyak mengonsumsi minuman beralkohol. Kekasih Ronald Tannur itu disebut meninggal bukan akibat penganiayaan berat seperti dalam dakwaan Jaksa.
Berikut sejumlah reaksi atas putusan bebas Ronald Tannur
Kejari Surabaya Tolak Putusan
Kepala Seksi (Kasi) Intelijen Kejari Surabaya Putu Arya Wibisana mengatakan putusan Ronald janggal. Ia menyebutkan dari alat bukti seperti surat visum et repertum atau VER sudah ditegaskan mengenai adanya luka di hati korban akibat benda tumpul.
Putu mengatakan hasil VER juga membuktikan adanya bekas ban mobil yang menindas bagian tubuh korban Dini Sera Afrianti. "Itu merupakan suatu bukti bahwa ada fakta yang seharusnya dipertimbangkan juga oleh Majelis Hakim," ujar Putu seperti dikutip, Jumat (28/7).
Diakui Putu, memang hasil VER juga menemukan kadar alkohol yang berlebihan di lambung korban. Namun dalam permohonan kasasi perkara ke Mahkamah Agung, tim penuntut umum Kejari Surabaya berharap hakim agung juga mempertimbangkan hasil VER lainnya, yaitu terkait bekas penganiayaan berat oleh terdakwa Gregorius Ronald Tannur yang menyebabkan kematian terhadap kekasihnya tersebut.
Tak Berdasar Hukum
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno vonis bebas Gregorius Ronald Tannur tidak berdasar hukum. Kesimpulan itu menurut dia lantaran ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Kenyataannya, bukti yang ditampilkan di sidang tidak dipertimbangkan hakim. Padahal menurut Basuki, dalam memutus suatu perkara hakim sudah disumpah begitu juga dengan saksi ahli yang dihadirkan.
“Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya," ujarnya.
Ia menambahkan melihat dalam surat dakwaan JPU, ada empat pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, pasal 359 KUHP, dan 351 ayat 1 KUHP. Tiga pasal pertama berkaitan dengan korbannya meninggal dunia, dan pasal 351 ayat 1 itu terkait dengan penganiayaan biasa.
"Lah, empat pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil, yaitu yang dilarang adalah akibatnya. Oleh karena itu, dalam persidangan harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan yang diderita oleh si korban," ujar Basuki lagi.
Ia menambahkan, dalam perkara ini JPU sudah mencoba upaya maksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti. Hal itu memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa, baik saksi, CCTV maupun visum et repertum.
Dirinya melihat dalam perkara ini bisa jadi kurang saksi, namun ia menegaskan bahwa dalam perkara tersebut saksinya adalah antara pelaku dengan korban saja. Dalam kasus ini, korban pun sudah meninggal dunia, sehingga hanya pelaku saja yang mengetahui secara persis apa yang terjadi.
Meski visum tidak bisa menunjukkan siapa pelakunya, ia menilai rekaman CCTV dan kronologi perkara menyebut tidak ada pelaku lain selain terdakwa. Soal pertimbangan hakim yang menyebutkan kematian korban disebabkan oleh alkohol, Basuki pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim.
Komisi Yudisial Gunakan Hak Inisiatif
Komisi Yudisial menyatakan menggunakan hak inisiatifnya untuk mendalami putusan bebas Ronald Tannur. Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan hak itu digunakan lantaran tidak ada laporan yang diterima oleh komisi.
Mukti mengatakan bahwa KY memang tidak bisa menilai putusan hakim. Akan tetapi, KY bisa menurunkan tim investigasi untuk mendalami putusan tersebut guna melihat apakah ada dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Di samping itu, KY juga mempersilakan publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim jika memiliki bukti-bukti pendukung agar pihaknya dapat menindaklanjuti sesuai dengan prosedur yang berlaku. "KY memahami apabila akhirnya timbul gejolak karena dinilai mencederai keadilan," kata Mukti.
Vonis Memalukan
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan vonis bebas Ronald Tannur yang didakwa kasus dugaan penganiayaan hingga menyebabkan kematian, adalah putusan yang memalukan. Dia pun heran atas keputusan hakim tersebut, karena sebelumnya jaksa penuntut umum menuntut agar Ronald dihukum 12 tahun penjara.
"Terang benderang bahwa tindak pidana yang jelas sangat pada tahun 2023, dengan penganiayaan yang menyebabkan seorang perempuan meninggal dunia, ini kan fatal," kata Sahroni saat ditemui di Kantor DPP Partai NasDem, Jakarta, Kamis.
Dia pun mengajak para pihak pemangku kebijakan agar mengawasi dengan seksama putusan tersebut. Menurutnya, para hakim tersebut harus diperiksa secara menyeluruh oleh pihak-pihak yang berwenang.
Putusan itu menurut Sahroni janggal lantaran polisi sudah memberikan pasal-pasal apa yang disangkakan oleh yang bersangkutan. Pasal itulah yang membuat perkara berproses di pengadilan.
“Tiba-tiba kemarin diputuskan Pengadilan Negeri, divonis bebas, ini memalukan, makanya saya bilang ini hakimnya sakit nih," kata dia.
Sebelumnya, Polrestabes Surabaya menetapkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan terhadap tersangka Ronald Tannur yang telah menghilangkan nyawa kekasihnya tersebut. Ronald dijerat dengan pasal 351 dan 359 KUHP tentang penganiayaan dan kelalaian dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Penyelidikan polisi mengungkap penganiayaan terjadi usai pasangan kekasih itu menghabiskan malam di tempat hiburan, kawasan Surabaya Barat. Selain itu, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun sudah secara resmi menonaktifkan anggota DPR Fraksi PKB Edward Tannur dari keanggotaannya di Komisi IV DPR RI imbas kasus yang menimpa anaknya tersebut.