2 Pasal di UU Tipikor Digugat ke MK, Apa Poin yang Jadi Sorotan Pemohon?

Ade Rosman
23 September 2024, 15:51
UU Tipikor
ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/YU
Suasana jalannya sidang putusan tentang gugatan syarat usia calon pimpinan KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dua Pasal dalam Undang-Undang Undang-undang Nomor 31/1999 juncto Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) digugat ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (23/9). Uji materi diajukan oleh tiga orang pemohon terdiri dari mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron Kukuh Kertasafari. 

Permohonan atas uji materi 2 Pasal di UU Tipikor itu disampaikan oleh kuasa hukum yang ditunjuk yaitu Maqdir Ismail, Illian Deta Arta Sari dan Annissa Ismail. Usai menyerahkan permohonan, Maqdir mengatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpeluang membuka ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi bila digunakan hanya berfokus pada soal kerugian negara. 

Lebih jauh Maqdir mengatakan adanya frasa kerugian negara yang dijadikan tolok ukur sebuah tindak pidana korupsi dinilai tidak selalu relevan dalam perkara korupsi yang tengah diusut penegak hukum. Penggunaan delik kerugian negara menurut Maqdir berpotensi menyulitkan posisi seorang pengambil kebijakan.

“Pada dasarnya kita ini bukan tidak setuju dengan pemberantasan korupsi. Kita setuju dengan itu. Korupsi itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Tapi yang menjadi persoalan pokok adalah jangan sampai pemberantasan korupsi ini menimbulkan ketidakadilan baru,” ujar Maqdir saat memberikan penjelasan kepada wartawan di Gedung MK. 

Menurut Maqdir dalam pemberantasan korupsi penegak hukum harus lebih fokus pada adanya kejahatan. Kejahatan yang ia maksud berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau kongkalikong dan suap menyuap. 

Uji materi Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi, Senin (23/9)
Uji materi Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi, Senin (23/9) (Katadata/Ade Rosman)

Pemohon  Nilai Kerugian Negara Belum Tentu Korupsi 

Menurut Maqdir, dalam sebuah keputusan bisnis tidak ada kepastian mengenai apakah kebijakan yang diambil menguntungkan atau merugikan di kemudian hari. Hal terpenting menurut Maqdir dalam pengambilan keputusan bisnis adalah tidak adanya unsur itikad jahat dan kongkalikong serta dilakukan dengan prosedur yang benar. 

Atas alasan itu menurut Maqdir pengambil keputusan tidak bisa dipidana hanya atas dasar dugaan kerugian negara. "Mereka tidak serakah, mereka menjalankan tugas dengan baik, tetapi mereka diberi predikat sebagai koruptor karena ada kerugian keuangan negara," kata dia.

Ia berpandangan, dalam sebuah tindak korupsi terdapat unsur kesengajaan berupa penyalahgunaan kewenangan serta perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Hal ini berbeda dengan kerugiaan negara yang timbul dalam sebuah keputusan bisnis. 

“Menguntungkan diri sendiri atau orang lain ini penyebabnya apa? Bukan karena ada kerugian negara tetapi karena ada suap menyuap," kata Maqdir.

Adapun, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Fokus pada Unsur Kongkalikong 

Hal lain yang menjadi sorotan adalah ihwal kerugian negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dinilai seringkali menjadi fokus penegak hukum dalam mengungkap kasus. Padahal menurut Maqdir hal utama dari Pasal itu adalah adanya unsur kongkalikong. 

Merujuk Pasal 3 Tipikor disebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta rupiah dan maksimal Rp 1 miliar.  Tidak jelasnya batas dalam pasal ini menurut Maqdir seringkali penegak hukum hanya melihat unsur kerugian negara.

"Oleh karena itu kemudian kami berpikir, kami sampaikan di dalam permohonan ini, alternatifnya adalah Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ini dibatalkan,” ujar Maqdir. 

Ia menyebutkan, pemohon menilai terlalu banyak kasus hukum yang justru menjerat orang-orang dengan itikad baik tetapi dianggap salah lantaran terdapat kerugian negara dalam kebijakan yang diambil. “Tetapi karena ada kerugian di BUMN misalnya mereka dipidana meskipun mereka tidak mengambil apa pun," kata Maqdir.

Di sisi lain, Maqdir mengatakan para pemohon tidak menutup peluang bisa hakim Mahkamah Konstitusi bakal menolak uji materi untuk membatalkan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3. Meski begitu, Maqdir mengatakan bila hal itu yang terjadi maka diperlukan prasyarat akan kedua pasal bisa diterapkan. 

Ia menyebut penggunaan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 harus memenuhi unsur suap menyuap. "Tanpa ada suap menyuap, orang tidak boleh dikenakan dengan pasal ini. Apalagi kan orang mengambil kebijakan dengan itikad baik," kata dia.

Delik Korupsi di Konvensi Internasional  

Dalam momen penyerahan dokumen uji materi itu, turut hadir mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas. Ery mengatakan memberikan dukungan kepada Maqdir dan para pemohon untuk meminta MK meninjau kedua pasal dalam UU Tipikor tersebut. 

"Apapun kalau ada suap, kita nggak ada masalah, semua kita setuju (dengan UU tersebut). Tapi kalau tidak ada suap, korupsi, pemidanaan kebijakan, pemidanaan kasus perdata, itu yang menimpa teman-teman kita semua," kata Erry. 

Erry juga mengatakan dalam pemberantasan korupsi prinsip yang dipegang tidak hanya berkaitan dengan upaya menghukum. Pemberantasan itu sendiri menurut dia harus juga didorong dengan upaya pencegahan dan peningkatan integritas. Karena itu Erry menilai pelaksanaan UU Tipikor harus bisa dijalankan dengan tepat agar tepat sasaran. 

Ia pun mengingatkan adanya konvensi internasional tentang korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang secara spesifik menyebut korupsi sebagai adanya pejabat publik yang menggunakan fungsinya, kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah untuk dirinya sendiri atau orang lain atau badan usaha itu korupsi. Di dalam definisi korupsi yang berlaku global itu tidak ada unsur kerugian negara melainkan fokus pada perilaku suap menyuap dan penalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan. 

Atas dasar itu Erry mengatakan uji materi Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 merupakan salah satu upaya untuk meluruskan proses penegakan hukum berkaitan dengan korupsi. Ia mengingatkan pemberantasan korupsi yang telah berjalan harus terus dikuatkan dengan tidak mengabaikan keadilan bagi semua orang. 

“Ini hanya salah satu hal yang penting untuk kita luruskan agar supaya pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif,” ujar Erry menjelaskan. 

Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...