UU Tipikor Digugat ke MK, Pasal Kerugian Negara Jadi Sorotan
Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) disoroti karena dinilai hanya fokus pada kerugian negara. Oleh sebab itu, sejumlah pihak mengajukan judicial review atau permohonan uji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka yang mengajukan uji materi adalah mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron Kukuh Kertasafari. Permohonan diajukan terkhusus untuk Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU tersebut.
Kuasa hukum ketiga pemohon, Maqdir Ismail mengatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpeluang membuka ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi.
Maqdir mengatakan faktor kerugian negara sebagai tolok ukur sebuah tindak pidana korupsi tak selalu benar. Menurut para pemohon, pengambil keputusan bisa saja terkena risiko kerugian negara.
"Mereka tidak serakah, menjalankan tugas dengan baik, tetapi diberi predikat koruptor karena ada kerugian keuangan negara," kata Maqdir di Gedung MK, Jakarta, Senin (23/9).
Ia berpandangan, di dalam korupsi itu terdapat penyalahgunaan kewenangan, perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Oleh sebab itu, perlu diperjelas apa relasi antara kerugian negara dengan perbuatan-perbuatan tersebut.
"Menguntungkan diri sendiri atau orang lain ini penyebabnya apa? Bukan karena ada kerugian negara tetapi karena ada suap menyuap," kata Maqdir.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta rupiah dan paling banyak Rp 1 miliar rupiah."
Kemudian, Pasal 3 menyebutkan
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta rupiah dan maksimal Rp 1 miliar."
Pendapat Mantan Pimpinan KPK
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011, Chandra M Hamzah juga menyoroti aturan lama dalam UU Tipikor yakni soal kerugian negara. Ia juga mencontohkan pasal ini berpotensi tak tepat sasaran.
Chandra mencontohkan, tak semua Badan Usaha Milik Negara atau BUMN meraup untung. Namun mereka terancam aturan kerugian negara. "Dalam aktivitas negara dan bisnis rugi itu sangat mungkin terjadi," kata Chandra dalam program Katadata "Pergulatan Politik" atau Gultik awal Agustus 2024.
Chandra menjelaskan, bunyi Pasal 2 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang Tipikor sekarang meniru delik yang ada di Undang-Undang tahun 1957. Salah satu tujuannya adalah mencegah penyelewengan saat nasionalisasi perusahaan Belanda.
Padahal menurutnya, korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang secara tidak halal secara melawan hukum. Menurutnya, tolok ukur kerugian negara sebagai korupsi sudah tidak tepat.
"Perbuatannya itu adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum itu korupsi," kata dia.
Chandra menkhawatirkan hal ini bisa membuat penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor tak pernah diterapkan di negara lain.
"Di negara lain tidak diakui pasal itu," kata Chandra.
Sedangkan mantan Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi juga berpandangan senada. Ia menyebut sebaiknya pemidanaan tak dilakukan dengan pasal yang meragukan.
"Pemidanaan jangan menggunakan pasal meragukan yang debatable. Karena itu menurut saya ke depan pakai pasal suap saja, sama seperti negara lain," kata Amien dalam siniar yang sama.
Amien berkaca pada kasus mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan dalam Blok Busker, Manta Gummy (BMG). Karen bebas di tingkat kasasi karena tak dianggap melakukan tindak pidana koupsi.
"Tidak ada konflik kepentingan, tak ada suap, keputusan (bisnis dilakukan) lewat review," kata dia.