Wacana Pilkada Lewat DPRD Dinilai Bisa Bikin Kemerosotan Demokrasi

Muhamad Fajar Riyandanu
17 Desember 2024, 20:39
pilkada, dprd, prabowo
ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nz
Petugas panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS) membuka kotak suara berisi formulir C hasil penghitungan suara pemilihan Gubernur Jawa Barat saat rapat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pilkada serentak 2024 tingkat kecamatan di Dakwah Islamiyah, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (30/11/2024).

Ringkasan

  • Pergantian mekanisme Pilkada melalui DPRD dinilai berpotensi menghambat demokrasi, menciptakan kekuasaan absolut, dan membuka celah otoritarianisme.
  • Transaksi politik dan praktik korupsi tetap dapat terjadi dalam sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
  • Pembahasan revisi undang-undang politik melalui omnibus law diharapkan melibatkan masyarakat untuk memberikan masukan demi menghindari perubahan sistem Pilkada yang berdampak negatif pada demokrasi.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejumlah pakar politik menilai bahwa perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berpotensi, memundurkan demokrasi, memunculkan kekuasaan absolut dan membuka ruang bagi praktik otoritarianisme.

Wacana ini menjadi ramai usai Presiden Prabowo Subianto menyampaikan secara langsung. Prabowo beralasan pemilihan oleh DPRD bisa menghemat anggaran negara.

Direktur Eksekutif The Strategic Research & Consulting (TSRC), Yayan Hidayat, beranggapan dalih efisiensi anggaran demi memangkas kedaulatan rakyat dalam demokrasi merupakan kemunduran.

Dia mengkhawatirkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD memicu kekuasaan tunggal yang dihimpun partai politik (parpol) berkuasa. Dampaknya, praktik otoritarianisme bisa kembali lagi.

Menurut Yayan, Gerindra menjadi salah satu parpol yang diuntungkan jika wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Hasil Pilkada 2024 mununjukkan bahwa dari 37 provinsi, pasangan yang diusung Gerindra unggul di 26 provinsi.

"Wacana kepala daerah dipilih DPRD mengkhianati cita-cita reformasi dan rentan mengalami pembusukan yang menyebabkan dekadensi demokrasi Indonesia," kata Yayan melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp pada Selasa (17/12).

Yayan juga mengatakan proses pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres), legislatif (Pileg) dan kepala daerah di tahun yang sama tidak serta merta memangkas biaya politik.

Sedangkan Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, mengatakan tak ada jaminan penunjukan kepala daerah oleh DPRD dapat menekan ongkos politik. Dia mengatakan transaksi politik juga dapat terjadi di dalam sistem pemilihan kepada daerah oleh DPRD.

"Menurut saya nominal transaksinya lebih besar. Banyak kasus korupsi yang melibatkan eksekutif dan legislatif daerah," kata Virdi saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (17/12).

Dia juga menepis anggapan pemilu secara langsung oleh rakyat dapat menyebabkan polarisasi dan konflik sosial di masyarakat. Virdi menganggap, narasi ini cenderung disuarakan aktor politik yang memanfaatkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk meraih keuntungan dari kelompok tertentu.

"Masalahnya elit politik sendiri yang menciptakan dan memainkan ketegangan polarisasi. Di masyarakat sebetulnya perbedaan preferensi politik itu biasa saja," ujar Virdi.

Masyarakat Harus Terlibat

Saat ini, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuka peluang revisi undang-undang terkait politik, melalui sistem omnibus law.

Beberapa UU yang rencananya akan direvisi dengan metode omnibus law yaitu UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu); UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada; dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Lalu UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; UU Nomor 3 tentang Desa; dan UU Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

Direktur Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menganggap ide ini tidak dapat dipisahkan dari peluncuran wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Ia berharap DPR dapat melibatkan masyarakat untuk memberi masukan.

"Harus duduk bersama semua pihak. Jangan sampai pembahasan ini sepihak atau searah saja dan tiba-tiba saja diketuk," kata Agung saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (17/12).

Dia mengatakan masalah dalam sistem pilkada merupakan hal teknis yang dapat diselesaikan dengan tanpa harus mengubah sistem. Agung mencontohkan, anggaran saat pemilu dapat ditekan lewat penggunakan sarana e-voting.

Cara ini dapat diaplikasikan ke masyarakat perkotaan yang cenderung akrab dengan perangkat elektronik dan keseharian terkoneksi internet. "Banyak negara sudah berhasil dengan e-voting seperti India, Estonia," ujar Agung.

Dia menyayangkan adanya narasi untuk mengubah skema pilkada karena dapat mengganggu substansi dari demokrasi yang telah dibangun pasca reformasi.

Agung mengingatkan bahwa perubahan yang terlalu drastis dapat mengganggu pelaksanaan program prioritas Presiden Prabowo. Menurut Agung, perubahan lanskap politik yang terlalu radikal dapat menambah risiko politik dan sosial yang tidak diinginkan.

"Jadi seharusnya hal-hal teknis itu solusinya juga teknis. Jangan hal-hal teknis akhirnya menghabisi substansi. Lantas karena biaya mahal, demokrasi malah mundur," ujar Agung.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...