Harga Komoditas Jatuh, Pendapatan Petani Perkebunan Melemah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai tukar petani perkebunan rakyat periode November melemah menjadi 95,59 dibadingkan periode Oktober sebesar 96,26. Jatuhnya nilai tukar pekebun disebabkan oleh turunnya harga beberapa komoditas kebun seperti kelapa sawit, kelapa, dan kakao.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan nilai tukar petani perkebunan rakyat pada Oktober turun mencapai sebesar -0,69, berbeda dengan petani tanaman pangan yang justru meningkat 1,37. "Indeks harga yang diterima petani turun karena harga komoditas perkebunan jatuh," kata Suhariyanto di Jakarta, Senin (3/12).
(Baca: Berharap Proyek Infrastruktur Jadi Juru Penyelamat Petani Karet)
Dia menyebutkan nilai tukar petani perkebunan rakyat jatuh di seluruh daerah Sumatera (kecuali Bengkulu) dan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sementara itu, petani perkebunan rakyat di Jogjakarta, Jawa Timur, dan Banten mengalami kenaikan tipis.
Suhariyanto menjelaskan perbedaan nilai tukar petani di beberapa daerah juga dikarenakan hasil produksi yang berbeda. "Pergerakan komoditas antarprovinsi itu berbeda," ujarnya.
Berdasarkan rilis Kementerian Perdagangan, harga referensi produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil /CPO) untuk penetapan bea keluar periode Desember 2018 adalah US$ 549,37 per ton, melemah USD 28,97 atau 5,01% dari periode November 2018 yang sebesar US$ 578,34/MT. Dengan demikian, untuk setiap ekspor CPO tak akan dikenakan bea keluar serta pungutan ekspor juga akan dihapus.
“Saat ini harga referensi CPO kembali melemah dan berada di bawah US$ 750 per ton,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan.
Penetapan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 106 Tahun 2018 tentang penetapan harga patokan ekspor (HPE) atas produk pertanian dan kehutanan yang dikenakan bea keluar.
(Baca: Harga Merosot, Pemerintah Siap Beli Karet Petani untuk Infrastruktur)
Di tengah kejatuhan harga komoditas saat ini, pemerintah menyatakan telah menyiapkan sejumlah langkah perbaikan dari hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah, serta mensejahterakan petani . Kementerian Pertanian mengupayakan peremajaan beberapa tanaman utama perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kelapa sekaligus memperbaiki sistem produksi mereka. "Kami juga mendukung kelembagaan petani untuk mendorong hilirisasi," kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, peremajaan perkebunan untuk komoditas sawit dilakukan melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Untuk karet, dia mengusulkan peremajaan dengan sistem pembagian lahan 70% dan 30%, sehingga petani karet nantinya bisa memiliki produk pengganti sambil menunggu masa panen.
Terlebih karet biasanya memiliki masa panen lebih lama dibandingkan dengan jenis tanaman selaan seperti kopi dan kakao yang masa panennya lebih singkat. "Setidaknya kita membuat petani bisa bertahan sehingga ketika bahan baku alternatif komoditas kita habis, produksi masih tersedia," ujar Bambang.
Selain dari sisi pasokan, pemerintah juga tenggah mengkaji sejumlah cara untuk meningkatkan permintaan beberapa komoditas kebun. Dengan harapan stok komoditas yang berlebih di pasar bisa terserap sehingga harganya terdongkrak naik atau mulai membaik. Contohnya program B20 untuk minyak kelapa sawit serta pengkajian penggunaan karet untuk bahan baku aspal.
(Baca juga: Harga CPO Anjlok, Pemerintah Bebaskan Sementara Pungutan Ekspor Sawit)