Stellantis dan Tren Merger Otomotif: Menuju Kendaraan Listrik & Otonom
Dua pemain industri otomotif ternama dunia, Fiat Chrysler Automobiles (FCA) dan Peugeot S.A. (PSA), baru saja merampungkan mega merger senilai US$ 52 miliar (sekitar Rp 724 triliun), dan terlahir sebagai entitas baru bernama Stellantis.
Hasil penggabungan itu menjadikan Stellantis sebagai produsen otomotif terbesar ke-4 dunia yang memiliki 15 merek mobil dalam portofolionya. Chrysler, Dodge, Jeep, Ram, Fiat, Alfa Romeo, Abarth, Lancia, dan Maserati yang sebelumnya di bawah FCA, serta Citroën, DS, Opel, Peugeot, dan Vauxhall milik PSA.
Meski demikian belum diketahui secara pasti bagaimana nasib merek-merek tersebut ke depannya. CEO Stellantis Carlos Tavares mengatakan bahwa tiap-tiap merek tersebut merupakan aset berharga perusahaan yang akan dilihat posisinya di pasar.
“Bagaimana pasar tiap merek dan visi ke depannya. Kami akan memfokuskan semua platform dan sistem yang ada untuk menciptakan ‘sister cars’ demi meningkatkan profitabilitas,” kata Tavares seperti dikutip detroitnews.com, Selasa (19/1).
Dikutip dari CNN.com, analis Cox Automotive, Michelle Krebs, menilai bahwa pembentukan perusahaan baru seperti Stellantis dapat menolong dalam mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan untuk bergeser ke teknologi kendaraan listrik dan otonom (tanpa pengendara/self driving).
"Stellantis hanyalah contoh berskala besar dari tren bisnis mobil saat ini. Seluruh produsen mobil tengah serius menghadapi tugas monumental untuk membentuk kembali operasi mereka menuju 2030, ketika mobil listrik dan teknologi otonom akan bergeser menjadi arus utama," kata Krebs.
Saat ini Stellantis memiliki 29 model mobil listrik dan menargetkan tambahan 10 model baru sebelum tutup tahun 2021. Nantinya semua jenis kendaraan yang diproduksi juga akan memiliki versi listriknya secara global pada 2025.
Oleh karena itu Tavares akan mengevaluasi seluruh strategi perusahaan, termasuk rencana untuk masuk ke pasar Tiongkok, yang merupakan pasar mobil listrik terbesar di dunia, dan kerja sama dengan Foxconn Technology Group dalam membuat kendaraan listrik di pasar tersebut.
Databoks penjualan mobil listrik di dunia:
Perusahaan akan terintegrasi secara vertikal dalam memproduksi motor listrik, transmisi, baterai secara mandiri atau membentuk joint venture. Stellantis juga masih memiliki kerja sama dengan Waymo LLC milik Alphabet Inc. untuk penggunaan teknologi kendaraan otonom di masa mendatang.
“Strategi ini akan memastikan kepatuhan terhadap kebijakan persyaratan emisi dari pemerintah selama tiga hingga lima tahun ke depan, meskipun kerja sama pooling credits dengan Tesla Inc. selesai,” kata Tavares.
Tren Kerjasama Produsen Otomotif dan Perusahaan Teknologi
Selain Stellantis, produsen otomotif lainnya juga terus bersiap menyambut era kendaraan listrik dan otonom. Beberapa menggabungkan kekuatan seperti yang dilakukan Fiat dan Peugeot, dan beberapa lainnya menjalin kemitraan dengan perusahaan teknologi.
Seperti produsen mobil Tiongkok, Geely Holding Group, pemilik merek Volvo dan Daimler, yang pada Selasa (19/1) mengumumkan kerja samanya dengan Tencent Holdings Ltd. untuk mengembangkan kokpit kendaraan pintar dan otonom.
Sebagai informasi, Tencent memiliki investasi pada produsen mobil listrik seperti Tesla dan Nio. Sebelumnya, Geely juga menjalin kerja sama dengan Baidu Inc. dan akan membentuk perusahaan patungan atau joint venture dengan Foxconn untuk mengembangkan mobil listrik.
“Dalam kemitraan terbaru di sektor yang berkembang pesat, perusahaan akan bersama-sama mengembangkan kokpit mobil pintar untuk memiliki lebih banyak aplikasi layanan yang lebih mobile untuk menjamin mobilitas, dan mengeksplorasi pengujian mengemudi otonom,” tulis pernyataan Geely.
Selain Geely, perusahaan startup yang memproduksi kendaraan otonom lainnya, Cruise, juga mengumumkan kerja sama dengan Microsoft Corp. untuk mempercepat produksi dan komersialisasi kendaraan otonom.
Microsoft akan bergabung dengan General Motors Co., Honda Motor Co., dan investor institusi lainnya dalam investasi senilai lebih dari US$ 2 miliar, untuk mengembangkan kendaraan otonom. Dengan adanya investasi ini, nilai startup yang berbasis di San Fransisco tersebut kini menembus US$ 30 miliar.
Lalu pada 2019, sejumlah kerja sama atau merger serupa juga dilakukan produsen otomotif lainnya. Seperti kerja sama Hyundai Motors dengan Aptiv, sebuah perusahaan teknologi yang mengembangkan solusi kendaraan yang lebih hijau dan terkoneksi, senilai US$ 1,6 miliar.
Perusahaan pembuat teknologi keamanan dan konektivitas kendaraan, Wabco Holdings Inc., pada 2019 mengakuisisi produsen sasis kendaraan asal Jerman, ZF Friedrichshafen AG, senilai US$ 7,4 miliar.
CEO Wabco Jacques Esculier mengatakan bahwa kolaborasi dengan ZF Friedrichshafen merupakan upaya perusahaan untuk menyambut era mobil listrik dan otonom yang semakin terkoneksi di masa depan. “Kami melihat banyak peluang ke depan, walau merealisasikannya akan penuh dengan tantangan,” kata Esculier.
Honda Motors pada 2019 juga mengumumkan akuisisi Showa Corp. dan Keihin Corp., masing-masing senilai US$ 1,1 miliar dan US$ 1 miliar. Dua perusahaan ini merupakan suplier part untuk kendaraan Honda.
Pada 2017 Honda juga mengumumkan kerja sama dengan Hitachi untuk mengembangkan motor listrik. Nantinya, Showa dan Keihin akan dilebur dengan Hitachi. Integrasi ini memiliki tujuan jangka panjang, yakni untuk mempermudah pengembangan kendaraan listrik.
Investasi CASE 2020 Turun Imbas Covid-19
Meski demikian, menurut hasil riset Pricewaterhouse Cooper (PwC) nilai transaksi dan investasi perusahaan otomotif pada teknologi CASE pada 2020 menurun dibandingkan 2019. CASE merupakan singkatan dari connectivity, autonomus, sharing/subscription, dan electrification.
Pada 2019, total investasi/kerja sama CASE di industri otomotif dunia mencapai US$ 75 miliar. Namun pada 2020 turun 44% menjadi US$ 42 miliar, imbas pandemi Covid-19. PwC menyebutkan bahwa investasi CASE merupakan pendorong perusahaan otomotif melakukan merger dan/atau akuisisi.
Tren investasi CASE pada 2021 diprediksi akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih akan diliputi volatilitas seiring masih belum berakhirnya pandemi corona.
“Sektor otomotif masih akan menghadapi tahun yang menantang. Covid-19 masih akan menjadi hambatan terbesar bagi perusahaan otomotif dalam melakukan kesepakatan bisnis,” tulis riset PwC, dikutip Rabu (20/1).
Peluang meningkatnya investasi CASE tahun ini tetap ada seiring dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). PwC menyebutkan bahwa Biden akan membawa banyak perubahan pada kebijakan lingkungan AS untuk melawan perubahan iklim.
“Kami memprediksi investasi pada kendaraan listrik akan berlanjut, bahkan terakselerasi, seiring perubahan kebijakan ini. Produsen otomotif yang belum mengembangkan kendaraan listrik akan mulai meningkatkan investasinya, berkompetisi dengan pemain lainnya,” tulis PwC.
Meski demikian daya beli masih akan menjadi tantangan untuk meningkatkan permintaan kendaraan listrik. Namun ini bisa diatasi dengan stimulus atau dengan insentif agar harga kendaraan listrik bisa mendekati harga kendaraan bermesin konvensional.