Boikot H&M di Tiongkok Berlanjut hingga Penutupan Toko Secara Paksa
Boikot terhadap merek fashion asal Swedia, Hennes & Mauritz AB (H&M), di Tiongkok terus berlanjut. Sejumlah gerai toko H&M di beberapa kota di Negeri Panda dikabarkan telah ditutup secara paksa oleh pemilik pusat perbelanjaan, dan pemilik gedung.
Beberapa lokasi gerai H&M yang ditutup secara paksa seperti dilaporkan Nikkei Asia di antaranya di provinsi Heilongjiang, Shanghai, Shandong, serta Mongolia Dalam. Bahkan papan reklame di gerai H&M di kota Dazhou provinsi Sichuan dibongkar paksa pada hari Minggu (28/3) lalu.
Tidak hanya itu, pencarian kata kunci “H&M” di mesin penjelajah internet Tiongkok, Baidu, dan di aplikasi seluler berbagi perjalanan Didi Xhuxing, menghasilkan laman kosong. Sehingga menyulitkan pengguna yang ingin menemukan lokasi gerai H&M.
Per 30 November 2020, H&M mengoperasikan 505 gerai di seluruh Tiongkok dengan kontribusi mencapai 5,2% terhadap total penjualan bersihnya secara global sebesar US$ 1,23 miliar (Rp 16,4 triliun) sepanjang 2020. Ini menjadikan Tiongkok sebagai pasar terbesar keempat H&M setelah Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Inggris.
European Union Chamber of Commerce di Tiongkok menyatakan bahwa amarah publik Tiongkok terhadap H&M dan merek-merek asing lainnya seperti Nike, Adidas, Gap, hingga Uniqlo, akan mereda. Namun mereka akan terus menghadapi risiko politik selama berbisnis di Tiongkok.
"Anda benar-benar harus membiarkannya terjadi, merendahkan diri, dan melihat kapan angin itu berlalu dan kemudian kembali lagi. Konsumen Tiongkok menyukai produk dan merek Eropa," kata kepala EU Chamber of Commerce, Joerg Wuttke kepada Bloomberg TV, Selasa (30/3).
Wuttke menambahkan bahwa Tiongkok telah "menyelamatkan" banyak perusahaan seiring pulihnya ekonomi Negari Panda ini dari pandemi virus korona. Namun di saat yang sama ada tekanan politik semacam ini. Seorang pejabat pemerintah Tiongkok meminta H&M untuk menahan diri dan tidak mempolitisasi keputusan bisnisnya.
H&M, Nike, Adidas, Gap, Uniqlo tergabung dalam Better Cotton Initiative (BCI), sebuah grup yang mempromosikan produksi kapas berkelanjutan. BCI pada Oktober 2020 menyatakan tidak akan menggunakan kapas yang diproduksi di provinsi Xinjiang.
Ini terkait dengan dugaan kerja paksa etnis minoritas Uighur di provinsi tersebut dalam proses produksi kapas. H&M tahun lalu sempat mengeluarkan pernyataan bahwa mereka sangat prihatin atas laporan kerja paksa di Xinjiang.
Bahkan UE, Inggris, dan AS telah menjatuhkan sanksi kepada 10 orang pejabat pemerintah yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di sana, dan empat entitas salah satunya the Mercator Institute of China Studies.
Otoritas Tiongkok menyangkal tuduhan tersebut. Pada konferensi pers yang digelar Kementerian Luar Negeri Tiongkok di Beijing kemarin, Senin (29/3), seorang pejabat pemerintah daerah otonomi Xinjiang Uighur, Xu Guixang, mengatakan bahwa kawasan ini telah mengatasi ancaman kekerasan dan terorisme di masa lalu.
“Kami berharap lebih banyak merek asing seperti H&M dapat membedakan mana yang benar dan salah. Orang-orang Tiongkok, termasuk di Xinjiang, marah atas sanksi terhadap individu dan entitas relevan di Xinjiang oleh pihak asing dengan dalih pelanggaran HAM,” kata Guixang, seperti dikutip kantor berita Xinhua.
Tidak hanya publik Tiongkok, perusahaan produsen pakaian olah raga Anta dan Li Ning turut membela penggunaan kapas Xinjiang dan mendapat dukungan dari konsumennya. “Produk Li Ning selalu nyaman. Produk dalam negeri semacam ini layak didukung,” kata warganet Tiongkok melalui media sosial Weibo.