Pendirinya WNA, Fintech Cashlez Mengeluh Sulit Kantongi Izin BI

Cindy Mutia Annur
23 September 2019, 23:20
pendirinya warga negara asing, ceo cashlez mengeluh sulit dapat izin BI
cashlez
Ilustrasi, CEO Cashlez Teddy Tee dan Direktur OVO Harianto Gunawan saat acara kerja sama. Teddy Tee mengeluh sulitnya mendapat izin BI.

CEO PT Cashlez Worldwide Indonesia (Cashlez) Teddy Tee mengeluh sulitnya mendapat izin dari Bank Indonesia (BI). Perusahaan aggregator teknologi finansial (fintech) pembayaran ini mengajukan perizinan sejak dua tahun lalu, dan baru mendapatkan ‘lampu hijau’ pada Mei 2019.

Salah satu yang menjadi tantangan adalah pendiri atau co-founder Cashlez berkewarganegaraan asing. “Karena dia (co-founder) Warga Negara Asing (WNA) sehingga kami harus mendirikan Penanaman Modal Asing (PMA)," katanya kepada Katadata.co.id di sela-sela acara Fintech Summit di JCC, Jakarta, Senin (23/8).

Alhasil, perusahaannya sulit mengajukan izin pada dua tahun lalu. Sebab, saat itu belum ada sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). 

Padahal Cashlez harus mendapat persetujuan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terlebih dulu. “Jadi memang kami agak repot saat itu,” kata Teddy.

Selain itu, ia merasa sada beberapa tantangan saat mengajukan perizinan ke BI. Ia mencontohkan, ada beberapa pertanyaan yang diajukan terkait pengalaman, prosedur, audit keuangan, rencana bisnis ke depan, audit keamanan hingga pengenalan produk ke masyarakat (customer education).

(Baca: Sumitomo Suntik Modal Agregator Fintech Pembayaran Cashlez)

Namun, ia memahami bahwa ketatnya persyaratan itu bertujuan untuk melindungi konsumen. Utamanya, untuk menghindari penyalahgunaan atau kebocoran data hingga manajemen perusahaan yang bermasalah.

"Memang butuh upaya untuk memperoleh izin ini. Tapi ini artinya, mereka yang berizin adalah perusahaan payment gateway yang telah terkurasi dengan baik oleh regulator," kata dia.

Cashlez sebenarnya berdiri pada 2015, namun baru beroperasi setahun setelahnya. Di awal kehadirannya, Cashlez fokus menyediakan layanan kasir berbasis ponsel pintar (smartphone) atau mobile point of sale (mPOS). Perusahaan juga bekerja sama dengan Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, dan Maybank.

Pada 2017, startup ini mendapat investasi dari Mandiri Capital Indonesia. Pada April lalu, Cashlez menyelesaikan putaran pendanaan seri A yang dipimpin oleh perusahaan perdagangan dan investor asal Jepang, Sumitomo Corporation.

Cashlez menargetkan bisa menggaet 5 ribu mitra hingga akhir tahun ini. Untuk itu, Cashlez fokus menggandeng lebih banyak fintech pembayaran. Beberapa yang sudah diajak kerja sama adalah OVO, GoPay, Yap! dari BNI hingga LinkAja.

(Baca: Agregator Fintech Pembayaran Cashlez Targetkan 5 Ribu Mitra Tahun Ini)

Adapun kebijakan terkait kepemilikan asing pada industri fintech pembayaran diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik. Aturan Itu fokus memperkuat tiga aspek penyelenggaraan uang elektronik yakni kelembagaan, perlindungan konsumen; serta, peningkatan keamanan dan akseptansi.

Dari sisi kelembagaan, BI membatasi kepemilikan asing sebesar 49%, menetapkan minimal modal disetor, dan mengelompokan izin penyelenggara. Lalu, BI mewajibkan penyelenggara uang elektronik meningkatkan standar keamanan transaksi dan memproses transaksi secara domestik.

Kemudian, dari aspek perlindungan konsumen, BI mengatur penataan struktur biaya dan mekanisme pengelolaan floating fund yang lebih transparan dan akuntabel, dengan tetap mengedepankan mitigasi risiko likuiditas dan insolvensi.

(Baca: Penerbit Uang Elektronik Lokal Dukung BI Batasi Kepemilikan Asing)

Reporter: Cindy Mutia Annur

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...