Baru 7% Perusahaan Manufaktur di Indonesia yang Adopsi Teknologi AI
Riset Centre for International and Strategic Studies (CSIS) pada 2019 menyebutkan, hanya 7% perusahaan manufaktur di Indonesia yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Inteligence/AI). Ada tiga faktor penyebab minimnya adopsi teknologi di Tanah Air.
Pertama, kemampuan perusahaan dalam melihat potensi bisnis dari adopsi AI atau teknologi lainnya masih rendah. “Mereka (perusahaan) belum tentu semuanya bisa melihat hal-hal yang dijanjikan dari teknologi ini,” kata Kepala Departemen Ekonomi CSIS Jakarta Yose Rizal Damuri alam acara Young Dialogue di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (17/9).
Kedua, butuh modal yang cukup besar untuk menerapkan AI dan teknologi canggih lainnya. Hal ini menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam menerapkan teknologi tersebut.
"Modalnya harus keluar, tetapi keuntungannya juga harus potensial. Jadi, terkadang mereka (perusahaan) akan mempertimbangkan pakai teknologi itu (AI) atau alat yang lama saja (cara konvensional)," katanya.
(Baca: Batal Bertemu Jokowi, Robot Sophia Melucu di Depan Menteri Kominfo)
Ketiga, keterampilan (skill) dan bakat (talent). "Ketika operator dan developer tidak ada atau kurang, itu jadi hambatan (dalam mengembangkan teknologi AI)," kata dia.
Di satu sisi, sepengetahuannya proses merekrut pekerja asing juga cukup sulit. Karena itu, menurutnya pemerintah perlu mempersiapkan talenta muda Indonesia supaya sesuai dengan kebutuhan industri ke depan.
"Tapi kalau memang perlu, sebenarnya tidak apa-apa meminjam dahulu (pekerja) dari luar negeri," katanya. Namun, langkah itu dalam rangka untuk melatih dan meningkatkan kualitas pekerja nasional supaya mengikuti perkembangan teknologi.
Adapun kajian CSIS terkait adopsi AI ini dilakukan terhadap 600 responden yang bekerja di perusahaan manufaktur di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Timur. Survei dilakukan selama Januari-Februari 2019.
Pada kesempatan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara mengatakan, pekerjaan yang sifatnya repetitif rentan digantikan oleh AI dalam jangka panjang. “Harus ada yang spesifik supaya tidak tergeser oleh teknologi.
(Baca: Singapura Terapkan Pelajaran Pemrogaman Bagi Siswa SD pada 2020)
Sebelumnya, survei tahunan perusahaan jasa konsultan internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC) menunjukkan, hampir 30% pimpinan bisnis menilai pertumbuhan ekonomi global akan menurun pada 2019. Namun, minat untuk mengadopsi AI meningkat.
Survei PwC ke-22 ini melibatkan lebih dari 1.378 CEO di 91 negara. Survei ini dilakukan pada September hingga Oktober 2018. Hasilnya, jumlah CEO yang pesimistis dengan perekonomian dunia meningkat dari 5% di awal 2018 menjadi hampir 30% di awal 2019.
Hanya, hal itu tidak menurunkan minat mereka untuk mengadopsi teknologi terbaru. Hampir sepertiga CEO berencana untuk mengupayakan kecerdasan buatan di perusahaan mereka dalam tiga tahun ke depan. "Sepertiga sisanya telah memperkenalkan AI di organisasinya, namun untuk penggunaan terbatas,” kata Territory Senior Partner di PwC Indonesia Irhoan Tanudiredja dalam siaran pers, beberapa waktu lalu (22/1).
(Baca: Grab Investasi Rp 2 Triliun untuk Artificial Intelligence di 3 Layanan)