4 Senator AS Dukung Trump untuk Kurangi ‘Kekebalan’ Twitter-Facebook
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang dapat mengurangi perlindungan terhadap perusahaan internet atau media sosial pada akhir Mei lalu. Empat senator dari Partai Republik pun mendesak Komisi Komunikasi Federal (FCC) untuk meninjau kemungkinan revisi aturan perlindungan tanggung jawab atas layanan Twitter hingga Facebook
Keempat senator tersebut yakni Marco Rubio, Kelly Loeffler, Kevin Cramer, dan Josh Hawley. Mereka meminta FCC untuk meninjau pasal atau section 230 pada Undang-undang Keterbukaan Komunikasi. Pada bagian itu diatur mengenai kriteria perusahaan digital dapat menerima perlindungan atas konten yang diunggah pengguna.
Mereka menilai, perusahaan media sosial seperti Twitter dan Facebook terlibat dalam berbagai kegiatan editorial unggahan pengguna dan promosi lebih jauh. Twitter hingga Facebook juga dianggap memonetisasi, mengedit, dan ikut terlibat menyunting konten pengguna.
"Inilah saatnya untuk mengkaji section 230 dan menafsirkan standar samar 'niat baik' dengan pedoman dan arahan khusus," kata para senator dikutip dari Reuters, Rabu (10/6). (Baca: Makin Panas, Facebook dan Twitter Lawan Trump soal Aturan Media Sosial)
Pendapat senator tersebut juga didukung oleh Jaksa Agung AS William Barr. Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, ia mengatakan bahwa platform media sosial sudah terlibat dalam sensor dan bertindak lebih seperti penerbit.
"Jadi Anda pikir perusahaan-perusahaan (media sosial) ini entah bagaimana menyensor Presiden dan pendukungnya? Saya pikir jelas ini, entitas ini sekarang terlibat dalam penyensoran," kata Barr dikutip dari Fox News, kemarin (9/6).
(Baca: Twitter Sembunyikan Kicauan Trump soal Pembunuhan George Floyd)
Pada akhir Mei lalu, Trump menandatangani perintah eksekutif yang dapat mengurangi perlindungan terhadap perusahaan media sosial. Ia juga mengarahkan agen Departemen Perdagangan AS untuk mengajukan petisi kepada FCC agar segera mengambil tindakan.
Perintah eksekutif tersebut ditandatangani setelah Twitter melakukan cek fakta atas cuitan Trump. Tak lama berselang, Twitter menyembunyikan unggahan Trump yang berbunyi “ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai.” Konten ini terkait unjuk rasa atas kematian George Floyd.
Hanya, Ketua FCC Ajit Pai menolak berkomentar terkait perintah eksekutif dari Trump tersebut. (Baca: Tak Hapus Status Trump Soal Kerusuhan, Bos Facebook Dikritik Pegawai)
Upaya Trump tersebut juga memicu perlawanan dari Twitter dan Facebook. Twitter menentang perintah eksekutif tersebut. "Ini merupakan pendekatan reaksioner dan politisasi terhadap hukum," kata perusahaan melalui platform-nya.
Perusahaan menyampaikan, Section 230 melindungi inovasi dan kebebasan berekspresi warga AS. "Itu ditopang oleh nilai-nilai demokrasi. Upaya untuk mengikis secara sepihak itu mengancam masa depan kebebasan berbicara dan internet," katanya.
Juru bicara Facebook Liz Bourgeois pun mengatakan, perusahaan berupaya melindungi kebebasan berekspresi penggunanya. "Sambil melindungi komunitas dari konten berbahaya, termasuk unggahan yang mendorong warga untuk golput," ujar dia. Hal itu disampaikan, lantaran Twitter memeriksa kebenaran fakta cuitan Trump terkait kemungkinan manipulasi dalam pemungutan suara 2020.
Facebook menilai, perintah eksekutif yang dirilis akibat perseteruan Trump dengan Twitter tersebut justru akan membatasi kebebasan warga AS dalam berekspresi. "Mencabut atau membatasi Section 230 akan memiliki efek sebaliknya. Ini akan membatasi lebih banyak percakapan secara online," ujar Bourgeois.
(Baca: Cek Fakta Cuitan Trump, Bos Twitter Sebut Tak Berupaya Jadi 'Wasit')