Alibaba, Tencent, TikTok Sulit Genjot Pendapatan karena Tertekan Cina
Induk TikTok, ByteDance mencatatkan pertumbuhan pendapatan 70% tahun lalu atau melambat dibandingkan 2020 100%. Hal senada dialami oleh raksasa teknologi Cina Tencent dan Alibaba.
Perusahaan teknologi Tiongkok itu meraup pendapatan sekitar US$ 58 miliar pada 2021. Nilainya lebih tinggi dibandingkan 2020 US$ 34,3 miliar, namun pertumbuhannya melambat.
Angka pendapatan itu diumumkan kepada sebagian karyawan dalam pertemuan internal. Dua orang yang mengetahui masalah ini mengatakan, perlambatan pertumbuhan pendapatan karena tekanan Beijing.
"Pertumbuhan yang lebih lambat pada 2021 dibandingkan tahun sebelumnya karena Cina memperketat regulasi," kata dua sumber tersebut dikutip dari Reuters, Kamis (20/1).
Tahun lalu, ByteDance menghadapi tekanan dari pemerintah Tiongkok. Beijing melalui Cyberspace Administration of China (CAC) misalnya, menerapkan aturan agar perusahaan teknologi seperti ByteDance yang mendirikan kantor pusat, pusat penelitian, dan pusat operasi di luar negeri, melapor ke regulator di Cina.
CAC juga mengeluarkan dua draf peraturan baru yang mewajibkan perusahaan teknologi seperti ByteDance meninjau keamanan data sebelum pencatatan saham perdana ke publik atau IPO di bursa luar negeri, termasuk di Hong Kong.
Alhasil, ByteDance gagal IPO tahun lalu. South China Morning Post (SCMP) melaporkan bahwa induk TikTok menunda pencatatan saham perdana hingga akhir 2022.
Yang terbaru, otoritas Cina meluncurkan peraturan baru terkait pengendalian algoritme di platform teknologi seperti TikTok. Aturan ini disusun oleh Administrasi Ruang Siber Cina (CAC), Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Cina, Kementerian Keamanan Publik Cina, dan Badan Regulasi Pasar Cina (SAMR).
Regulasi yang terbit pada awal tahun ini (4/1), akan mulai berlaku pada 1 Maret.
CAC mengatakan, peraturan baru tersebut bertujuan mengendalikan algoritme pada aplikasi. Teknologi ini berfungsi merekomendasikan apa yang ingin konsumen baca, tonton, putar, dan beli secara online.
Melalui aturan baru itu, aplikasi yang mengandalkan algoritme seperti e-commerce Alibaba, video pendek TikTok, dan game Tencent akan diarahkan untuk lebih mempromosikan energi positif.
"TikTok hingga Tencent harus memberi ruang yang memungkinkan konsumen menolak rekomendasi yang dipersonalisasi," demikian dikutip dari SCMP, awal tahun ini (4/1).
Otoritas membuat aturan itu karena selama ini TikTok dianggap sering meracuni konten tidak sehat dari rekomendasi. Regulator mencontohkan, algoritme yang digunakan oleh platform TikTok versi Cina, Douyin membuat pengguna terus-menerus terlibat dengan jumlah konten yang hampir tak terbatas.
Pendapatan Tencent dan Alibaba
Pengembang game, Tencent Holdings pun hanya melaporkan peningkatan laba 3% pada kuartal III 2021. Ini merupakan pertumbuhan paling lambat dalam dua tahun terakhir.
“Itu karena bisnis media sosial dan video game terbesar di Cina tersebut menghadapi ketidakpastian peraturan di tengah pengawasan ketat pemerintah Cina terhadap industri,” demikian dikutip dari SCMP, akhir tahun lalu (10/11/2021).
Perusahaan yang terdaftar di Hong Kong itu membukukan laba bersih 39,5 miliar yuan (US$ 6,18 miliar).
Sedangkan pendapatan meningkat 13% menjadi 142,37 miliar yuan. Tetapi ini di bawah perkiraan konsensus 28 analis 145,41 miliar yuan.
Alibaba pun hanya membukukan kenaikan pendapatan 29% menjadi 200,7 miliar yuan (US$ 31,4 miliar) pada kuartal III 2021. Ini merupakan tingkat pertumbuhan paling lambat selama satu setengah tahun.
Raksasa e-commerce itu juga memperkirakan pendapatan tahunan tumbuh antara 20% dan 23%. Ini lebih rendah dari perkiraan analis.
Kepala eksekutif Alibaba Daniel Zhang mengatakan, perlambatan pendapatan itu karena meningkatnya persaingan dan melambatnya konsumsi di Cina.
Namun berdasarkan laporan dari analis KGI Asia, penyebab penurunan laba sejumlah perusahaan teknologi Cina karena tekanan yang bertubi-tubi dari Beijing.
"Kami percaya bahwa hambatan regulasi di Tiongkok akan mencerminkan laba dan pendapatan kuartal III dan kuartal terakhir 2021," kata analis KGI Asia dikutip dari Reuters, akhir tahun lalu (8/11/2021).