Operasi Bedah Lewat Metaverse Diramal Tren di Bidang Kesehatan
Pandemi Covid-19 telah mendorong masifnya digitalisasi kesehatan, seperti penerapan teknologi pengobatan jarak jauh (telemedicine) hingga rumah sakit pintar. Ke depan, operasi bedah mengandalkan metaverse diramal menjadi tren.
Beberapa ahli teknologi mengatakan, metaverse merupakan versi teranyar dari virtual reality (VR) tanpa komputer. Pengguna teknologi dapat memasuki dunia virtual menggunakan perangkat berupa headset atau kacamata berbasis augmented reality (AR) maupun VR.
Chief Medical Officer di Medical Realities Prof Shafi Ahmed mengatakan, sejak Facebook mengenalkan metaverse, adopsi teknologi ini melonjak di sejumlah sektor.
"Di sektor kesehatan, metaverse bisa diandalkan oleh ahli bedah. Ini memungkinkan operasi bedah dengan akses pengalaman 3D. Ini jauh lebih realistis," kata Ahmed dalam webinar APAC 5G Industry Community Series Events, Kamis (17/2).
Menurutnya, operasi bedah bisa mengandalkan avatar dan hologram. "Dibantu AR dan VR untuk masa depan digitalisasi kesehatan yang besar," katanya.
Ia mengatakan, di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan India, penerapan metaverse sudah dilakukan. Di India misalnya, All India Institutes of Medical Sciences (AIIMS) menggunakan teknologi operasi digital berbasis metaverse dari perusahaan teknologi ImmersiveTouch.
ImmersiveTouch memungkinkan dokter memakai teknologi untuk menyimulasikan patologi unik setiap pasien dalam 3D. ImmersiveTouch mengintegrasikan solusi untuk perencanaan bedah, pelatihan, dan keterlibatan pasien menggunakan metaverse.
Namun dalam mengembangkan teknologi metaverse untuk kesehatan, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. "Infrastruktur digital yang kuat, ini bisa mengandalkan 5G," katanya.
Kemudian, penerapan metaverse membutuhkan data yang cukup besar dan alur kerja yang lebih kompleks.
Digitalisasi di sektor kesehatan masif terjadi sejak pandemi Covid-19. Di Cina, raksasa teknologi Huawei menggaet Rumah Sakit Umum Provinsi Guangdong untuk menerapkan sejumlah proyek digitalisasi.
Huawei menerapkan teknologi yang memungkinkan ambulans diubah menjadi rumah sakit darurat. Meski dalam bentuk kendaraan, rumah sakit ini mempunyai kemampuan pemindaian tomografi komputer (CT) pintar dan mesin elektrokardiogram yang dapat memeriksa diagnosis secara instan.
Rumah sakit itu juga bisa mengumpulkan informasi yang dapat dikirimkan ke pusat data secara real-time. Huawei mengandalkan 5G untuk mengolah data secara cepat.
Selain itu, teknologi Huawei memungkinkan adanya sensor dan perangkat di seluruh bangsal yang bisa digunakan untuk mengirim peringatan ke jam tangan pintar perawat.
Melalui jam itu, perawat bisa memperoleh informasi seperti ketika pasien jatuh atau cairan infus pasien mengalami gangguan.
Rumah sakit juga mengandalkan robot berbasis kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang terhubung ke jaringan. Tugasnya, mendisinfeksi fasilitas dan mengirimkan obat-obatan.
Di Indonesia, adopsi telemedicine terus bertumbuh. Berdasarkan hasil survei dari McKinsey pada 2020, 65% - 80% responden mengaku akan tetap menggunakan layanan kesehatan secara online dan telemedicine setelah Covid-19 berakhir.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga memperkirakan, layanan kesehatan akan gencar menggunakan teknologi pasca-pandemi corona. Teknologi yang diprediksi tren yakni AI, Internet of Things (IoT) hingga big data.
"Saya pelajari, sektor kesehatan ke depan akan dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi big data, IoT hingga AI,” kata Budi dalam acara FB@UNGA’s bertajuk ‘The Role of Tech in the Global Recovery’, tahun lalu (21/9/2021).