Setelah Blokir, Amerika Selidiki Lagi Huawei soal Alat Menara Seluler
Pemerintah Amerika Serikat (AS) memblokir Huawei sejak 2018. Kini, mereka kembali menyelidiki perusahaan Cina itu terkait alat di menara seluler.
AS khawatir alat Huawei di menara seluler itu dapat menangkap informasi sensitif dari pangkalan militer dan silo rudal, untuk kemudian dikirimkan ke Pemerintah Cina.
Sumber Reuters mengatakan, penyelidikan itu telah dibuka oleh Departemen Perdagangan AS tak lama setelah Joe Biden menjabat awal tahun lalu.
Pemerintah AS kemudian memanggil Huawei pada April 2021 untuk mempelajari kebijakan perusahaan tentang berbagi data dengan pihak asing. Amerika khawatir ada alat yang dapat menangkap pesan dan data geolokasi untuk dikirim ke Pemerintah Cina.
"Pihak berwenang khawatir Huawei dapat memperoleh data sensitif tentang latihan militer dan status kesiapan pangkalan dan personel melalui peralatan," kata sumber Reuters, dikutip Kamis (21/7).
Jika penyelidikan itu berhasil, Pemerintah AS dapat melarang semua transaksi dengan Huawei. Kemudian, mereka bisa menuntut operator telekomunikasi AS yang masih mengandalkan peralatan Huawei untuk segera menghapusnya, atau didenda.
Departemen Perdagangan AS tidak mengonfirmasi atau menyangkal penyelidikan itu. Otoritas hanya mengatakan bahwa ada upaya melindungi keselamatan dan keamanan warga AS dari pengumpulan informasi.
Delapan pejabat Pemerintah AS saat ini dan mantan petinggi juga mengatakan, penyelidikan itu mencerminkan kekhawatiran keamanan nasional yang masih ada kepada Huawei.
Huawei membantah keras tuduhan pemerintah AS bahwa mereka dapat memata-matai dan menimbulkan ancaman keamanan nasional bagi AS.
"Pemerintah AS menyalahgunakan konsep keamanan nasional serta kekuatan negara untuk berusaha sekuat tenaga menekan Huawei, dan perusahaan telekomunikasi Cina lainnya tanpa memberikan bukti kuat bahwa mereka merupakan ancaman keamanan bagi AS," kata perwakilan kedutaan Cina di Washington, AS.
Huawei telah lama dirundung tuduhan pemerintah AS. Sebelumnya, bisnis ponsel perusahaan Cina ini tertekan oleh kebijakan AS pada masa pemerintahan Donald Trump.
Produsen ponsel itu masuk dalam daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan AS sejak awal 2019.
Alhasil, gawai buatan raksasa teknologi ini tak didukung oleh Android dari Google. Selain itu, tidak memuat layanan seperti Gmail, YouTube, dan lainnya.