Usung Konsep Shoppertainment, Pesanan di Lazada Naik 128%
Lazada mencatat, jumlah pesanan meningkat 128% secara tahunan per Juni 2019. Perusahaan e-commerce asal Singapura ini berfokus pada konsep shoppertainment, menggabungkan fitur hiburan dan belanja untuk menggaet lebih banyak konsumen.
CEO Lazada Group Pierre Poignant menyampaikan, konsep ini efektif meningkatkan keterlibatan konsumen di platform-nya sehingga membuka peluang lebih banyak transaksi. "Ini konsep yang benar-benar bagus," kata dia saat temu media di JW Marriot, Singapura, kemarin (24/10).
Fitur hiburan yang dimaksud seperti LazGame yang memuat beberapa gim seperti MojiGo, Tower, Push Cart, dan lainnya. Yang teranyar, ada LazCity Wonderland yang memungkinkan pengguna menjelajahi setiap toko di Lazada secara virtual. Selain itu, pengguna bisa menyaksikan siaran langsung (live streaming) acara Lazada di platform.
Saat ini, Lazada pun telah menggaet 50 juta pengguna aktif di Asia Tenggara per Agustus 2019. Startup asal Singapura ini menargetkan 300 juta konsumen di enam negara pada 2030. Dengan jumlah populasi negara-negara ASEAN saat ini sekitar 650 juta jiwa, maka Lazada menargetkan hampir separuhnya menjadi konsumen mereka.
(Baca: Lazada Tawarkan 80 Juta Promosi Selama Pesta Diskon 11.11)
Namun, Pierre menyampaikan ada empat tantangan industri e-commerce di Asia Tenggara. Pertama, logistik yang tidak efisien. Di Indonesia misalnya, biaya logistik mencapai 24% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), data per 2015. "Kami berfokus pada logistik model Business to Costumer (BtoC)," kata dia.
Saat ini, Lazada memiliki 30 pusat fullfillment di 17 kota di Indonesia. Selain itu, perusahaannya investasi di bidang penyortiran. Alhasil, 75% parsel disortir langsung oleh Lazada. Unit logistik perusahaan juga melayani sekitar 70% pengiriman ke end user atau last mile.
Kedua, data per 2016, sekitar 73% penduduk di Asia Tenggara yang belum mendapat akses keuangan (underbanked). Berdasarkan data IMA Asia, sekitar 91% masyarakat di regional tidak memiliki kartu kredit dan 83% memilih skema bayar di tempat (cash on delivery/COD).
Ketiga, lanskap retail di regional terfragmentasi. Ada sekitar 64 juta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Asia Tenggara. Hal ini sekaligus menjadi peluang bagi Lazada. Sebab, perusahaan menilai para pelaku UMKM butuh solusi bisnis berbasis teknologi.
Keempat, budaya yang berbeda-beda. Setidaknya ada 240 bahasa di Asia Tenggara. Berdasarkan catatan Lazada, ada sekitar 150 juta pencarian harian di platform menggunakan lima bahasa, yakni Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Inggris.
(Baca: Gaet 50 Juta Pengguna, Pesanan di Lazada Naik Tiga Kali Lipat)
Sebelumnya, Managing Director Google Indonesia Randy Mandrawan Jusuf menjelaskan, tingkat keterlibatan konsumen berbanding lurus dengan monetisasi di e-commerce. Untuk itu, perusahaan seperti Tokopedia, Lazada, Bukalapak hingga Shopee bersaing meningkatkan waktu kunjungan pengguna di platform mereka.
Berdasarkan laporan tersebut, nilai transaksi (gross merchandise value/GMV) e-commerce diproyeksi mencapai US$ 38 miliar pada tahun ini. Nilainya diperkirakan naik 39% menjadi US$ 153 miliar pada 2025.
GMV di e-commerce ini merupakan yang tertinggi dibanding berbagi tumpangan (ride hailing), online media, ataupun online travel. “Banyaknya pesta diskon seperti Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) dan inovasi lain menarik orang berkunjung ke platform e-commerce,” katanya, beberapa waktu lalu (7/10).
Inovasi yang dilakukan seperti menyediakan fitur gim online, siaran langsung (live streaming) hingga menyerupai media sosial. “Pemain di industri ini pakai aplikasi untuk engage konsumen,” kata dia.
(Baca: Google Bocorkan Siasat Lazada hingga Bukalapak Gaet Pasar di Regional)