Disorot Amerika, Kenapa Barang Bajakan Beredar di E-Commerce Indonesia?


Amerika Serikat menyoroti e-commerce di Indonesia yang dinilai menjadi sarang barang bajakan. Penanganan hal ini menjadi salah satu topik yang akan dibahas Pemerintah Indonesia dalam menegosiasikan tarif impor dengan AS.
Dalam laporan Kantor Perwakilan Dagang Amerika atau USTR berjudul ‘2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers’ yang dirilis pada 1 April, maraknya pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang menjadi masalah signifikan di Indonesia, baik di pasar fisik maupun e-commerce.
“Pembajakan hak cipta yang tersebar luas dan pemalsuan merek dagang, termasuk online dan di pasar fisik, menjadi masalah utama di Indonesia,” demikian isi laporan itu.
Berdasarkan laporan ‘2024 Review of Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy’ atau Tinjauan Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan 2024 USTR, Shopee dan Bukalapak masuk dalam daftar.
USTR mencatat bahwa berbagai produk tiruan, mulai dari fesyen, tas, dompet, mainan hingga pakaian bermerek masih mudah ditemukan di platform-platform tersebut.
Selain e-commerce, pasar fisik seperti Mangga Dua masuk daftar pantauan prioritas. Pasar ini tercantum dalam Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy 2024.
Katadata.co.id mengonfirmasi hal itu kepada Shopee, TikTok Shop by Tokopedia, dan Bukalapak, namun belum ada tanggapan.
Juru bicara Lazada menyampaikan perusahaan terus berperan aktif dalam upaya memberantas perdagangan produk palsu atau bajakan di platform. Caranya, dengan terus meningkatkan pengawasan dan tata kelola dengan dukungan teknologi yang mampu mendeteksi penipuan dan secara proaktif menghapus produk yang dicurigai palsu sebelum menjangkau pelanggan.
"Kami menerapkan aturan dan kebijakan operasional secara ketat sesuai hukum bagi seluruh penjual di platform. Apabila terindikasi ada pelanggaran, kami segera melakukan peninjauan. Jika terbukti melanggar, penjual akan dikenakanbsanksi tegas, mulai dari penghapusan produk dari platform hingga penutupan toko secara permanen," kata juru bicara Lazada kepada Katadata.co.id, Jumat (25/4).
Lazada juga berkolaborasi dengan pemerintah, industri dan asosiasi terkait untuk bersama melakukan edukasi, baik kepada penjual maupun konsumen, untuk menghindari penjualan dan pembelian produk palsu.
Sekretaris Jenderal idEA atau Asosiasi E-Commerce Indonesia Budi Primawan menyampaikan anggota sudah menerapkan sistem pengawasan terkait produk seperti flagging alias penandaan, monitoring menggunakan kecerdasan buatan atau AI, kerja sama dengan pemilik merek hingga edukasi para penjual.
Pemilik merek bisa melapor melalui fitur pelaporan di masing-masing platform, jika produknya dirasa ditiru. Begitu juga dengan pengguna lainnya, apabila menemukan adanya pelanggaran.
Kenapa Barang Bajakan Beredar di E-Commerce?
USTR menilai kurangnya penegakan hukum atas pelanggaran hak kekayaan intelektual alias HaKI di Indonesia masih menjadi masalah utama. Oleh karena itu, Amerika mendorong Indonesia untuk lebih aktif memanfaatkan gugus tugas penegakan HaKI guna meningkatkan koordinasi antara lembaga dan kementerian terkait.
“Amerika juga terus mendorong Indonesia untuk menyediakan sistem perlindungan yang efektif terhadap penggunaan komersial yang tidak adil,” tulis USTR dalam laporannya.
Sementara itu, Budi Primawan menjelaskan penjual mengunggah sendiri produk di e-commerce atau yang dikenal dengan istilah User Generated Content atau UGC. “E-commerce bersifat open marketplace, jutaan produk langsung diunggah penjual. Jadi, ada tantangan dalam verifikasi,” kata Budi kepada.co.id, Selasa (22/4).
idEA berencana mendorong anggota memperketat pengawasan internal untuk mengantisipasi masuknya produk bajakan di platform e-commerce. “Ini supaya industri semakin bersih dan tepercaya, serta tetap bisa berkembang secara sehat di mata dunia,” katanya.
Asosiasi e-commerce sudah bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait untuk mengawasi barang yang beredar di platform.
Menurut Juru Bicara Kementerian Perindustrian atau Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif, sebagian besar barang bajakan yang beredar di Indonesia berasal dari impor, baik melalui jalur biasa maupun e-commerce, dengan memanfaatkan gudang Pusat Logistik Berikat (PLB).
Untuk mencegah peredaran barang bajakan, Kemenperin menekankan pentingnya regulasi yang mengharuskan importir dan penjual barang impor di e-commerce memiliki sertifikat merek dari prinsipal.
“Regulasi ini diwujudkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2024, yang mensyaratkan sertifikat merek bagi importir yang mengajukan rekomendasi impor. Tujuannya untuk memastikan barang bajakan tidak dapat masuk ke pasar domestik,” ujar Febri dalam keterangan pers pada Selasa (22/4).
Melalui Permenperin tersebut, importir yang belum memiliki sertifikat merek tidak akan mendapatkan rekomendasi impor dari Kemenperin untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT), tas, dan alas kaki.
Dengan kebijakan itu, importir nakal tidak dapat memasukkan produk ilegal tanpa sertifikat merek dari prinsipal. Akan tetapi, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan, salah satunya yakni lemahnya regulasi impor yang memungkinkan importir tidak memenuhi kewajiban sertifikat merek.
Febri menjelaskan, meskipun Permenperin Nomor 5 Tahun 2024 sudah diterbitkan, regulasi tersebut tidak bertahan lama karena ada perubahan pada Peraturan Menteri Perdagangan alias Permendag yang menjadi dasar hukum kebijakan tersebut.
Permendag Nomor 36 Tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor diubah menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 pada Mei 2024. Perubahan ini menghilangkan kewajiban bagi importir menyampaikan sertifikat merek.
“Akibat perubahan itu, barang bajakan kembali mudah masuk ke Indonesia, terutama dari importir yang tidak memegang sertifikat merek,” kata Febri.
Menurut dia, Permenperin Nomor 5 Tahun 2024 juga kurang mendapat dukungan dari kementerian dan lembaga lain, yang malah meminta diskresi dan relaksasi penerapan kebijakan.
Kemenperin juga menilai upaya pengawasan dan penindakan barang bajakan di pasar domestik tidak akan efektif, karena besarnya volume barang bajakan yang masuk dan luasnya pasar Indonesia.
Selain itu, penindakan berdasarkan delik aduan sulit dilakukan, karena sebagian besar pemegang merek atau prinsipal berada di luar negeri. “Menindak barang bajakan yang sudah beredar dalam volume besar di pasar domestik yang luas, tentu bukan pekerjaan mudah. Oleh karena itu, kami mendorong agar pencegahan dilakukan lebih dini melalui regulasi impor, bukan hanya penindakan di pasar domestik,” kata Febri.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan atau PKTN Kemendag Moga Simatupang menjelaskan sejumlah merek global memang sudah resmi mengadukan pemalsuan barang yang dijual.
Beberapa merek yang melapor terkait barang bajakan, merujuk pada dokumen Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum per 12 Desember 2024, sebagai berikut:
- Lego (mainan)
- Comotomo (botol dot bayi)
- Mimi White (lotion)
- Louis Vuitton (tas, dompet, sabuk)
- Christian Louboutin (sepatu perempuan)
- Tokai (pemantik api)
- Orion Choco Pie (makanan ringan)
- Honda (suku cadang dan genset)
Kendati berbagai merek global telah mengadukan pemalsuan produk, Kemendag belum menerima laporan dari konsumen terkait kerugian atau keluhan atas pembelian barang palsu.
Moga menjelaskan bahwa peredaran barang palsu diatur di Undang-Undang 20 tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis. Pasal 103 mengatur tentang Delik Aduan.
"Produsen atau pemegang merek yang merasa dirugikan dari adanya barang bajakan, dapat melaporkan kepada pihak berwenang terhadap oknum yang menjual merk yang dipalsukan," ujar Moga.