LinkAja hingga GoPay Bicara Soal Aturan Promosi dan Pembaruan Regulasi
Perusahaan teknologi finansial (fintech) seperti LinkAja, OVO, GoPay dan DANA menilai, ada beberapa hal terkait bisnis digital yang perlu diatur. Salah satu contohnya, soal promosi.
Head of Brand and Marketing Communication Group LinkAja Ignatius Untung mengatakan, regulator perlu melakukan studi sebelum menerbitkan aturan terkait ekonomi digital. Dengan begitu, pemerintah diharapkan lebih memahami hal-hal yang perlu diatur dan yang tidak.
Salah satu hal yang menurutnya perlu diatur adalah promosi. Berdasarkan hasil diskusi dengan para pelaku usaha yang lain, promosi merupakan upaya untuk mengedukasi pasar supaya menggunakan layanan berbasis digital seperti fintech pembayaran.
"Yang dikhawatirkan, kalau ini berlebihan apakah ini cara yang efektif? Adakah resiko atau dampak dari promosi yang sudah luar bisasa 'gila' ini?" kata Ignatius dalam acara Katadata Forum: Menakar Gelombang Besar Transaksi Digital di Jakarta, Kamis (24/10).
Ia mengatakan, promosi memang turut membantu kelangsungan usaha mitra penjual skala kecil. Bahkan, menurutnya program loyalitas seperti diskon menjadi penyebab banyaknya retailer besar seperti Matahari Departement Store atau Giant Supermarket menutup beberapa cabangnya.
"Mereka (merchant skala kecil) bisa bertahan. Tapi apakah ini tidak berbahaya? Kita harus akui bahwa promosi ini juga harus berakhir," kata Ignatius.
(Baca: Menakar Peluang GoPay, DANA, OVO, dan LinkAja Konsolidasi)
Karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengkaji dampak dari penerapan harga yang lebih murah daripada kualitas oleh pelaku usaha. "Kalau bisa regulator melakukan itu (studi), mungkin kita bisa punya pemahaman yang lebih solid," katanya.
Head of Government Relations and Policy GoPay Brigitta Ratih Esthi Aryanti pun sepakat dengan hal itu. Promosi perlu diatur agar tidak merugikan konsumen dalam jangka pendek maupun panjang. Sebab, promosi berpotensi menimbulkan predatory pricing.
Berdasarkan laman Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah (dibawah harga pasar) dalam jangka waktu tertentu. Rendahnya harga akan membuat banyak konsumen beralih dan bisa mematikan perusahaan lainnya.
"Apakah itu (predatory pricing) terjadi di industri kita? Saya rasa itu perlu dikaji. Apakah fenomena itu benar terjadi atau tidak. Lalu bagaimana nantinya bank sentral bertindak," kata dia.
Selain itu, ia berharap pemerintah tetap mengedepankan prinsip-prinsip
"Bukannya kami melawan aturan, tetapi alangkah baiknya BI bisa mengkaji mana saja bentuk inovasi yang membutuhkan kajian hingga waktu yang singkat atau yang lama. Mana yang perlu dilaporkan ke bank sentral dan tidak. Namun, tetap kami juga ingin mencari keseimbangan yang tepat untuk perlindungan konsumen," katanya.
(Baca: GoPay, OVO, GoFood hingga GrabFood Bawa Hoki Bagi Pizza Hut)
Sedangkan CEO DANA Vincent Henry Iswara menilai, perlu ada pembaruan lebijakan. Sebab, menurutnya ada beberapa aturan yang sudah ketinggalan zaman sehingga regulator perlu menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat teknologi (technology society).
"Intinya, kehadiran regulator seharusnya tidak menghambat kami (pemain fintech). Namun, sejauh ini kami menilai mereka benar-benar sudah mendukung kami ke level industri yang lebih besar," katanya.
Head of Public Relations OVO Sinta Setyaningsih mengatakan, BI cukup aktif melibatkan para pelaku usaha dalam mengambil kebijakan. Salah satunya penerapan standardisasi kode QR (QRIS).
"Ini adalah contoh yang baik dari BI, bahwa kami bukan pelaku industri saja tetapi juga mitra strategis," kata Sinta. Ia pun berharap, ke depan instansi tersebut bisa terus mendorong berbagai inovasi dari tiap perusahaan fintech.
(Baca: Jadi Unicorn, OVO Ungkap Peluang Gaet WhatsApp hingga Rencana Bisnis)