OJK Siapkan Fitur Serupa BI Checking untuk Fintech Tahun Ini
Di perbankan, bank-bank dapat memanfaatkan fitur Bank Indonesia (BI) checking untuk memeriksa kelayakan nasabah sebelum mengucurkan kredit. Maka, jika Anda tercatat pernah memiliki kredit macet pada satu bank, akan sulit bagi Anda untuk mendapatkan kredit dari bank lain. Fitur serupa akan tersedia pada layanan financial technology (fintech).
Awalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru mewajibkan pelaporan data debitur fintech pinjam-meminjam (lending) pada 2022. Namun, OJK sudah mulai menagih data debitur tersebut sejak tahun ini.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bersama dengan OJK akan membentuk pusat data fintech lending (pusdafil). Hal ini mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Adapun data debitur yang diberikan ke OJK adalah peminjam yang telat bayar dan yang memiliki pinjaman di lebih dari satu fintech. "Seluruh data akan ditarik oleh OJK. Nanti akan diinformasikan ke AFPI kalau ada unik peminjam dan memiliki sisi fraud atau (niat) keterlambatan membayar," kata Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko di kantornya, Jakarta, Senin (4/2).
(Baca: Asosiasi Pendanaan Online Buka Posko Pengaduan Fintech)
Selain pusadafil, AFPI membentuk kerja sama khusus antar anggotanya untuk berbagi data terkait debitur nakal. "Kami share ini untuk menghindari orang (peminjam) yang berniat buruk," kata Sunu. "Kami antisipasi sebelum ada transaksi."
Misalnya, ada calon peminjam tetapi Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak terdaftar di Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Data ini akan dibagikan ke semua anggota AFPI supaya calon peminjam tersebut tidak diterima pengajuan pinjamannya.
Pusdafil dan blacklist platform ini rencananya akan dirilis AFPI pada Kuartal I-2019. "Sekitar dua bulan lagi lah," kata Sunu.
Hanya, pusdafi ini berbeda dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Alhasil, fintech lending belum bisa menerima data debitur dari lembaga keuangan lainnya, seperti perbankan. Begitu pun sebaliknya.
AFPI juga akan melakukan pelatihan dan edukasi kepada stakeholders, seperti investor, direksi, dan komisaris terkait model bisnis dan penagihan pinjaman. Baru kemudian, AFPI akan melakukan pelatihan kepada tim penagihan internal dan pihak ketiga yang bekerja sama dengan anggotanya.
(Baca: TCash dan Aplikasi Uang Elektronik Bank BUMN Disatukan Jadi LinkAja)
Pelatihan ini akan dimulai sejak Februari 2019. "Tim penagihan jumlahnya ribuan. Jadi kami lakukan bertahap. Kami akan beri pembekalan dulu ke pemegang saham, direksi, dan komisaris. Baru sertifikasi ke tim penagihan (internal), termasuk pihak ketiga untuk penagihan," kata dia.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menambahkan, bahwa langkah-langkah ini dilakukan untuk menjaga kesehatan industri fintech lending. "Kami hadir untuk menjaga agar industri ini dapat berperan positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi ansional secara riil," kata dia.
Adapun pada tahun lalu, 88 fintech lending yang terdaftar di OJK sudah menyalurkan pinjaman senilai Rp 22 triliun kepada 3 juta peminjam. Dari jumlah tersebut, transaksinya mencapai 9 juta. Artinya, ada peminjam yang meminjam lebih dari dua kali.