Efek 5G, Huawei Prediksi Energi Terbarukan & Baterai Lithium Jadi Tren

Desy Setyowati
18 Februari 2020, 13:42
Efek 5G, Huawei Prediksi Energi Terbarukan & Baterai Lithium Jadi Tren
ANTARA FOTO/REUTERS/JASON LEE
Ilustrasi, seorang insinyur berdiri di bawah stasiun pangkalan antena 5G dalam sistem uji lapangan SG178 Huawei yang hampir membentuk bola di Pusat Manufaktur Songshan Lake di Dongguan, provinsi Guangdong, China, Kamis (30/5/2019).

Beberapa perusahaan telekomunikasi di Indonesia mulai menguji coba jaringan internet generasi kelima (5G). Huawei memperkirakan, energi terbarukan dan baterai lithium marak digunakan seiring berkembangnya 5G pada 2025.

Setidaknya ada tiga hal yang harus disiapkan operator guna mengantisipasi perkembangan 5G. Pertama, spektrum dan pendayagunaan teknologi mutakhir. Kedua, butuh stasiun-stasiun baru. Terakhir, mobile edge computing (MEC) menjadi kunci atas maraknya adopsi 5G. 

Huawei menilai, 5G membuka potensi dikembangkannya beragam skenario pengaplikasian perangkat Base Transceiver Station (BTS) untuk korporasi (enterprise). Pengaplikasian itu mulai dari kebutuhan konektivitas untuk pelabuhan, kawasan pertambangan, daya kelistrikan, transportasi, kampus, rumah sakit hingga komunitas.

Karena itu, butuh solusi daya untuk layanan telekomunikasi yang beragam dan fleksibel baik itu energi digital, modular maupun paduan keduanya. (Baca: Diminta Perkuat Jaringan agar RI Adopsi 5G, Begini Kata Telkomsel & XL)

Perusahaan asal Tiongkok itu pun memperkirakan energi terbarukan dan baterai lithium menjadi tren pada 2025. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengimbau untuk mengembangkan energi terbarukan seiring dengan perubahan iklaim.

Huawei mencatat, investasi terkait energi terbarukan meningkat tajam. Teknologi mutakhir di bidang energi yang mulai dikembangkan seperti photovoltaic atau tenaga surya, yang digerakkan oleh angin, sel berbahan bakar hydrogen hingga baterai lithium.

Selain itu, baterai berbahan inti asam timbal diprediksi bakal ditinggalkan. Daya itu akan digantikan oleh baterai lithium, karena bisa berfungsi sebagai sumber energi.

“Perkembangan 5G yang pesat mendorong peningkatan konsumsi daya di BTS hingga dua kali lipat,” demikian dikutip dari laporan Huawei, kemarin (17/2). Alhasil, sistem penyimpanan daya dengan densitas tinggi semakin dibutuhkan.

(Baca: Bangun Lebih dari 27 Ribu BTS, Tri Siap Adopsi 5G)

Usia pakai baterai lithium lima kali lebih panjang dibandingkan asam timbal. Usia float charge-nya juga dinilai dua kali lebih baik. Alhasil, biaya per siklus usia baterai lithium jauh lebih rendah. Dalam tiga tahun ke depan, harga per baterai lithium diperkirakan turun hingga 30%.

Huawei menghitung, biaya per baterai lithium diperkirakan mendekati harga baterai asam timbal pada 2022. Fitur teknologi peak shaving yang ada pada baterai lithium diharapkan dapat menekan kebutuhan untuk pengembangan kapasitas daya dan rekonstruksi.

Kehadiran 5G mendorong perusahaan telekomunikasi menyediakan stasiun baru. Biaya operasional akan meningkat, sehingga profit operator tergerus. Karena itu, perusahaan diprediksi bakal mendigitalkan energinya.

(Baca: Telkomsel hingga Indosat Selesaikan Satu PR, Baru Indonesia Adopsi 5G)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...