Dianggap Rentenir oleh OJK, Fintech Jelaskan Perhitungan Bunga

Desy Setyowati
6 Maret 2018, 16:55
Fintech
Arief Kamaludin (Katadata)

Perusahaan-perusahaan financial technology (fintech) yang menawarkan fasilitas kredit biasanya menetapkan suku bunga yang lebih tinggi dari perbankan, Namun, Asosiasi Fintech (Aftech) ingin membantah opini Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang menyamakan mereka dengan rentenir.

Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi menyatakan, tingginya bunga yang ditetapkan oleh fintech sebanding dengan risiko yang ditanggungnya. "Kami harap OJK bisa bedakan fintech dengan bisnis model pay day loan yang bunganya harian, maksimal 30 hari dan itu adalah dana emergency. Itu dunia dan semangatnya--menurut kami-- beda," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (6/3).

Ia menjelaskan, fintech memiliki model bisnis yang berbeda-beda, seperti peer to peer lending, equity crowdfunding, insurTech, dan RoboAdviser. Masing-masing, menurut Adrian, memiliki risiko dan ketentuan bunga yang juga berbeda. Misalnya, ada fintech yang fokus pada dana talangan konsumen dengan nominal di bawah Rp 3 juta, ada juga yang membiayai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

(Baca juga: Antisipasi Risiko, OJK Siapkan Aturan Pinjaman Online)

Pada peer to peer lending, bunga tersebut merujuk pada pemberi pinjaman dan yang meminjam. Supaya lender berminat meminjamkan uangnya, tentunya harus ada imbal hasil yang menarik. Kriteria menarik atau tidaknya transaksi itu, dapat dibandingkan dengan bunga deposito dan instrumen investasi lainnya seperti Surat Berharga Negara (SBN).

Saat ini, Adrian melihat bunga yang ditawarkan bank untuk deposan rata-rata 4%. Lalu yield (imbal hasil) SBN 10 tahun, rata-rata 7-8%. Maka, supaya lender mau meminjamkan uangnya, return yang ditawarkan harus lebih besar dari instrumen investasi lainnya. "Kalau saya investor (lender), saya mau bunganya lebih dari itu. Misalnya, 13-14%," kata dia.

Toh, besarnya bunga yang diterima lender menurut dia berbanding lurus dengan risiko yang ditanggung. Apalagi, orang atau institusi yang dipinjamkan biasanya merupakan mereka yang ditolak oleh bank karena dianggap berisiko. "Risiko tinggi karena belum punya riwayat (kredit) di bank," kata dia.

Pria yang juga menjabat sebagai CEO Investree ini menyebutkan, perusahaannya menetapkan bunga sekitar 12% hingga 15% per tahun. Seluruh bunga yang didapat pun diberikan kepada lender. Sementara, perusahaan menerima imbalan dalam bentuk fee untuk memenuhi kebutuhan operasional.

(Baca juga: Sri Mulyani Dorong Fintech Salurkan Kredit UMKM)

Adrian menjelaskan, berbeda dengan perbankan yang memperhitungkan biaya operasional dan sebagainya dalam menetapkan bunga, fintech biasanya memisahkan bunga dan fee yang didapat. "Kami sebutnya success fee atas pendanaan yang berhasil didanai. Di kami (Investree) antara 3-5%," ujarnya.

Dengan sistem seperti ini, ia memperkirakan bunga fintech bisa lebih rendah ketimbang perbankan di kemudian hari, sebab lender bisa dari dalam maupun luar negeri. Hal itu, sudah sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).

"Kami lihat bunga bisa turun tergantung suplai funding-nya," kata dia. Meski begitu, ia mengatakan bahwa lender dari luar negeri ini akan diatur oleh Bank Indonesia (BI).

Ketua Kelompok Kerja Peer to Peer Lending Aftech, Reynold Wijaya menambahkan, besar kecilnya bunga jga dibedakan tergantung profil risiko dari si peminjam. Jika risikonya kecil, bisa saja bunga yang ditetapkan rendah.

Ia menegaskan, bahwa proses know your costumer (KYC) dan penetapan profil risiko dari si peminjam dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan banyak aspek.

Reporter: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...