Tertekan Cina, Alibaba hingga JD.Com Berencana PHK Ribuan Karyawan
Sejumlah perusahaan teknologi asal Cina seperti Alibaba, Tencent dan JD.com berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan. Rencana ini diumumkan setelah Beijing meluncurkan beberapa aturan.
JD.com dilaporkan telah memberhentikan sekitar 400 hingga 600 pegawai dalam beberapa pekan terakhir. PHK ini dilakukan di unit bisnis pembelian bernama Jingxi.
"Jumlah karyawan yang terancam PHK mencapai 10% - 15% dari keseluruhan karyawan Jingxi," demikian dikutip dari Business Insider, Rabu (23/3).
Alibaba juga dikabarkan mempertimbangkan PHK setidaknya 15% dari keseluruhan karyawan tahun ini. Ini artinya, jumlah pekerja yang di-PHK oleh raksasa e-commerce itu bisa mencapai 39 ribu orang.
Kemudian, Tencent mempertimbangkan untuk memangkas 10% hingga 15% karyawan di unit bisnis tertentu tahun ini. Sebagian besar PHK akan menyasar unit bisnis komputasi awan (cloud) dan konten.
Rencana PHK ketiga perusahaan datang di tengah tekanan Beijing. Pemerintah Cina meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan teknologi seperti Alibaba hingga Tencent sejak 2020. Ini termasuk masalah tenaga kerja dan hak-hak konsumen.
Jika ditinjau sejak akhir 2020, setidaknya ada sembilan aturan baru yang menyasar raksasa teknologi, di antaranya:
- Aturan anti-monopoli yang baru
- Aturan terkait kredit mikro berbasis digital
- Membatasi anak bermain gim online
- Memperketat aturan konten di game online hingga video on-demand (VoD). Salah satunya melarang konten yang menampilkan pria berpenampilan feminin.
- Melarang fan ‘mengejar bintang’ secara tidak rasional di media sosial
- UU Keamanan data yang baru
- Redistribusi kekayaan
- Algoritme
- Pemangkasan biaya platform pesan-antar makanan
Akibat serangkaian regulasi baru tersebut, sejumlah perusahaan teknologi pun didenda. Alibaba dan anak usaha Tencent, China Literature, dan Shenzhen Hive Box Technology misalnya, menerima denda 1,5 juta yuan atau setara Rp 3,36 miliar pada akhir tahun lalu karena tidak melaporkan akuisisi.
Awal Maret lalu, Beijing kembali mendenda anak usaha Alibaba di bidang kebutuhan pokok atau groseri yakni Nice Tuan dan kepunyaan Tencent, Shixianghui. Perusahaan ini diketahui menerapkan skema pembelian berbasis komunitas yang dianggap bisa mengelabui konsumen agar membeli barang.
Selain itu, perusahaan teknologi mencatatkan kinerja bisnis yang buruk. Unit usaha Jingxi milik JD.com misalnya, mengalami kerugian 3,22 miliar yuan atau Rp 7,2 triliun selama kuartal IV 2021. Angka kerugiannya dua kali lipat lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Tencent juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan hanya 8% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal IV tahun lalu. Pertumbuhan pendapatan itu terendah sejak 2004.
Untuk keseluruhan tahun lalu, Tencent menghasilkan pendapatan 560,12 miliar yuan atau Rp 1.262 triliun. Angkanya memang naik 16% dibandingkan 2020. Namun, tingkat pertumbuhan pendapatan tahunan itu menjadi paling lambat dalam catatan Tencent.
Alibaba pun hanya membukukan kenaikan pendapatan 29% menjadi 200,7 miliar yuan (US$ 31,4 miliar) pada kuartal III 2021. Ini merupakan tingkat pertumbuhan paling lambat selama satu setengah tahun.
Raksasa e-commerce itu juga memperkirakan pendapatan tahunan tumbuh antara 20% dan 23%. Ini lebih rendah dari perkiraan analis.