Gelaran IDE 2025, Indosat Tegaskan Adopsi AI Generatif Telah Masif di RI

Ringkasan
- Adopsi teknologi AI generatif di Indonesia tengah meningkat pesat, terlihat dari tingginya persentase pekerja dan masyarakat yang telah memanfaatkan dan familiar dengan AI. Indonesia perlu mengembangkan talenta digital untuk membangun ekosistem AI yang mandiri.
- Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan AI berkat jumlah penduduk yang besar, namun perlu meningkatkan kapabilitas talenta digital agar lebih berdaya saing. Indosat, melalui program Laskar AI, berupaya meningkatkan keterampilan talenta lokal di bidang AI.
- Indosat dianggap sebagai salah satu perusahaan terdepan dalam adopsi AI di Indonesia karena pendekatan ekosistemnya yang inklusif. Indonesia secara keseluruhan masih berada pada tahap awal pemanfaatan AI (Taker), belum menciptakan inovasi baru.

Lintasarta menegaskan bahwa tren adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif mulai masif di Indonesia.
Anak usaha dari Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) itu lantas menyebutkan RI perlu untuk segera mengembangkan talenta digital demi mengembangkan ekosistem AI secara mandiri.
Berdasarkan survei Microsoft dan LinkedIn pada 2024, misalnya, sebanyak 92 persen pekerja Indonesia sudah memanfaatkan AI Generatif, dan lebih tinggi ketimbang rata-rata pekerja global sebesar 75 persen.
Lalu, survei terbaru dari Katadata Insight Center bertajuk Kedaulatan AI untuk memberdayakan Indonesia menyebutkan 83,6 persen masyarakat Indonesia telah familiar dengan AI.
Secara terperinci, ada sejumlah produk turunan AI yang telah dikenal masyarakat, di antaranya chatbot (36,9 persen), cctv yang mampu mengenali orang tidak dikenal (34,6 persen), dan aplikasi penghasil artikel otomatis (33,9 persen).
“Ini menunjukkan sebenarnya orang Indonesia itu cepat untuk beradaptasi dengan teknologi terbaru,” kata President Director dan CEO Lintasarta, Bayu Hanantasena, dalam Indonesia Data and Economic Conference (IDE) 2025 di Jakarta, Selasa (19/2). “Masalahnya seberapa jauh mereka bisa membuat impact dengan AI.”
Menurut Bayu, Indonesia sebetulnya tidak kekurangan sumber daya manusia untuk mengembangkan AI.
Berdasarkan perhitungannya, setidaknya 5 persen dari total penduduk Indonesia merupakan orang-orang yang mampu menciptakan inovasi teknologi.
“Innovators di Indonesia itu jumlahnya pasti lebih besar secara absolut dibandingkan seluruh penduduk Singapura,” kata Bayu.
“Tapi hari ini kalau dipotret di maturity (dalam AI) kita jauh di belakang Singapura. Tapi kita punya potensi untuk melompat ke sana," lanjutnya.
Karena itu, menurut Bayu, salah satu ikhtiar agar Indonesia berdaya saing dalam urusan AI adalah pembangunan kapabilitas talenta digital. Soal ini, Indosat Grup telah memiliki inisiatif
Melalui program Laskar AI, bagian dari Gerakan AI Merdeka, perusahaan embantu meningkatkan keterampilan talenta lokal AI di Indonesia.
Di dalamnya, perusahaan menyelenggarakan program beasiswa untuk total 650 orang baik mahasiswa dan dosen atau peneliti.
“Kita perlu menciptakan gerakan AI yang tujuannya untuk membangun kedaulatan AI,” ujar Bayu.”
Hal ini penting, terlebih jika bisa menciptakan Solusi AI yang khas Indonesia, dibuat oleh orang Indonesia dan menggunakan infrastruktur di Indonesia.
Sebab, jika Indonesia berdaya saing di bidang AI, maka memiliki potensi untuk menjadi negara maju.
“Kata Jensen Huang (CEO NVIDIA), orang akan digantikan oleh orang yang menggunakan AI. Perusahaan yang tidak menggunakan AI akan digantikan oleh perusahaan yang menggunakan AI. Pun negara yang tidak mumpuni di Ai juga akan tertinggal,” ujarnya.
Berdasarkan laporan KIC, Indosat tercatat sebagai salah satu perusahaan yang telah menciptakan terobosan penting soal adopsi AI di Indonesia.
Perusahaan itu menetapkan standar baru dalam inovasi AI di Indonesia, dengan tidak berfokus pada aspek teknologi, tetapi juga mengembangkan pendekatan ekosistem yang inklusif.
Laporan KIC menggarisbawahi bahwa di antara banyak perusahaan di Indonesia, Indosat termasuk yang telah siap untuk menjadi shaper di bidang AI.
Sebagai penjelas, KIC dalam risetnya mengklasifikan implementasi AI di Indonesia berdasarkan kategorisasi kerangka McKinsey, perusahaan konsultan global.
Framework tersebut yakni Taker, Shaper, dan Maker. Taker merujuk kepada penggunaan sebuah teknologi dengan hanya menggunakan model yang sudah tersedia tanpa ada kustomisasi.
Lalu, Shaper merupakan penggunaan teknologi dalam tahap mampu memodifikasi. Adapun, Maker merujuk kepada penggunaan teknologi dengan mampu menciptakan produk sendiri.
Berdasarkan telaah KIC, pemanfaatan AI di Indonesia secara keseluruhan baru mencapai tahap Taker.
Hal itu berarti Indonesia baru menjadi pengguna dari teknologi dimaksud, serta tidak menciptakan inovasi baru.