Kontribusi Industri Musik Minim Dinilai karena Infrastruktur Terbatas
Kontribusi musik terhadap produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif nasional relatif belum signifikan. Musisi berpendapat, salah satu penyebab minimnya sumbangsih subsektor ini adalah keterbatasan infrastruktur penunjang seperti gedung pertunjukan.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) melansir bahwa industri musik menyumbang 0,48 persen terhadap PDB industri kreatif pada 2016. Angka ini menunjukkan kontribusi subsektor ini terkecil kesembilan di antara 16 subsektor ekonomi kreatif nasional.
Drummer Grup Musik PAS Band Sandy Andarusman mengatakan, kondisi tersebut lantaran Indonesia kekurangan gedung pertunjukan untuk menggelar konser. "Yang biasa jadi tempat tampil seperti hotel, gedung sewaan, atau semacam hall,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (11/2).
(Baca juga: Perjalanan Lima Dekade Bisnis Studio Rekaman Sebelum 1990)
Menurut Sandy, Indonesia membutuhkan area atau bangunan khusus seperti di Singapura. Beberapa lokasi konser terkenal di Negeri Singa, yaitu National Stadium, Singapore Conference Hall, Victoria Theatre, The Star Performing Arts Center, Singapore Indoor Stadium, dan lain-lain.
Di dalam negeri sebelumnya ada gedung pertunjukan musik di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara bernama Mata Elang International Stadium (MEIS). Bangunan berkapasitas 200.000 orang ini terpaksa tutup per 26 Juni 2014. Keputusan tersebut dilakukan PT MEIS karena konflik terkait perizinan yang melibatkan perseroan serta pengelola Ancol Beach City.
(Baca juga: Kontroversi 6 Pasal RUU Permusikan yang Ingin Dihapus oleh Musisi)
Di tengah gaduh Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Permusikan, Sandy menilai bahwa regulasi selayaknya mampu menawarkan solusi atas berbagai perkerjaan rumah termasuk soal minimnya infrastruktur penduduk tersebut.
"Musisi Indonesia butuh banyak hal selain gedung pertunjukan musik, yaitu kemudahan perizinan dan perlindungan regulasi. (Misalnya) agar setiap karya yang kami buat itu selalu dikutip (secara jelas)," ujarnya.
Dengan kata lain, perihal krusial yang semestinya diatur dalam RUU Permusikan adalah tata kelola industri musik. Yang sekarang terjadi adalah sebagian musisi menolak kehadiran draf regulasi ini.