• Situasi pemidanaan mati di Indonesia semakin memburuk.
  • Hukuman mati mencerminkan praktik penghukuman untuk pembalasan dendam dan sarat nuansa populisme.
  • KUHP baru yang menyediakan komutasi belum cukup kuat untuk memoratorium hukuman mati dan dapat menimbulkan masalah baru.

Hukuman mati kembali menjadi perbincangan. Dimulai dari vonis mati terhadap Ferdy Sambo pada 13 Februari 2023 atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.

Menyusul kemudian tuntutan hukuman mati yang dilayangkan jaksa penuntut umum terhadap Irjen Teddy Minahasa yang didakwa atas kepemilikan sabu seberat 5 kilogram dan mengedarkannya dari Sumatera Barat ke Jakarta. Tuntutan ini dibacakan JPU pada 30 Maret 2023.

Sementara itu, pengacara Merry Utami, Aisyah Humaida mengumumkan pada 13 April 2023, kliennya menerima grasi dari Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/G Tahun 2023. Pemberian grasi itu mengubah status hukuman mati Merry menjadi penjara seumur hidup. 

TEDDY MINAHASA DITUNTUT HUKUMAN MATI
TEDDY MINAHASA DITUNTUT HUKUMAN MATI (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.)

Vonis Berjatuhan Meski Melanggar Hak untuk Hidup

Institute for Criminal Justice Reform dalam catatan terbarunya mengenai situasi hukuman mati di Indonesia yang dirilis pada Rabu (12/04) menyebutkan sepanjang 2022 ada 132 kasus pidana baru terkait dengan pidana mati dengan jumlah terdakwa sebanyak 145 orang. Sementara itu ada 428 orang lainnya masih berada di dalam deret tunggu eksekusi.

Dari seluruh kasus tersebut, ada 101 orang yang sudah berada dalam daftar tunggu eksekusi selama 10 tahun bahkan lebih. Sementara itu, Amnesty International mencatat hingga 31 Desember 2022, ada 452 terpidana mati yang berada di dalam deret tunggu eksekusi.

Jika ditotal sejak 1969 hingga 24 Maret 2023, data ICJR menunjukkan ada 1.105 kasus pidana mati dengan total terdakwa berjumlah 1.242 orang. Dari jumlah itu, setidaknya ada 520 terdakwa yang betul-betul divonis mati yang sebagian besar berada dalam daftar tunggu eksekusi.

Menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah, data-data tersebut menunjukkan situasi pemidanaan mati di Indonesia semakin memburuk. Ia menyebutkan praktik ini menunjukkan pemerintah memiliki standar ganda dalam menjalankan komitmennya untuk menegakkan hak asasi manusia.

Ia mengatakan, "Hak untuk hidup adalah hak konstitusional yang tidak dapat dikurangi sedikit pun. Berbagai undang-undang juga menyebutkan hal senada, di dalam kehidupan internasional pun Indonesia selalu menyatakan komitmennya terhadap penegakan hak asasi manusia dan hak untuk hidup."

Namun, di satu sisi, Anis melanjutkan, pemidanaan hukuman mati masih terus dijalankan. Menurut dia, pemidanaan mati tak hanya berdampak pada reputasi Indonesia, tetapi juga menyulitkan pembelaan terhadap pekerja migran asal Indonesia yang terancam hukuman mati. "Secara diplomatik, ini tantangan terbesar kita selama ini," kata dia.

Sementara itu, pada Senin (27/04) pemerintah Indonesia menyatakan menerima 269 rekomendasi dari 108 negara peserta Sidang Universal Periodic Review (UPR) Siklus IV di Jenewa. Salah satu rekomendasi penting untuk Indonesia adalah penghapusan hukuman mati, yang kemudian ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Saat itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan akan memperhatikan catatan penting dari negara-negara peserta mengenai pemberlakuan hukuman mati di Indonesia. Tetapi, ia menyebutkan perdagangan narkotika dan terorisme sebagai tantangan besar.

Anis mengingatkan komitmen pemerintah untuk menjalankan Deklarasi Universal HAM, Kovenan Hak-Hak Sipil Politik, dan Konvensi Menentang Penyiksaan. "Sebab itu, kami mendorong untuk menghapus hukuman mati secara absolut, terlebih tak ada relevansinya antara pemberlakuan hukuman mati dengan efek jera," kata dia.

Deretan vonis mati ini menempatkan Indonesia dalam jajaran atas negara dengan vonis mati terbanyak di kawasan Asia Tenggara.

Menghukum Mati untuk Pembalasan Dendam dan Sarat Nuansa Populisme

Berdasarkan data ICJR, perkara narkotika mendominasi vonis atau tuntutan pidana mati sepanjang 2022 dengan jumlah kasus sebanyak 123 perkara. Sementara itu, data Amnesty International menunjukkan pada 2020 dan 2021, sebanyak 82% vonis mati dijatuhkan untuk perkara narkotika.

Padahal, menurut peneliti ICJR Iftitahsari, dalam berbagai konvensi internasional mengenai narkotika dan psikotropika, tendensinya tidak lagi untuk menghukum mati. Dengan begitu, menurut Iftitah, hukuman mati untuk terpidana kasus narkotika tidak sesuai dengan arah kebijakan narkotika secara internasional.

Meski pidana mati terus berjalan, menurut Badan Narkotika Nasional BNN, prevalensi pengguna narkotika di Indonesia meningkat pada 2021 menjadi 3,66 juta, dibandingkan 2019 sebesar 3,41 juta. Mengutip Antara, Kepala BNN Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose, mengatakan prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2021 sekitar 1,95% atau naik 0,15% dari tahun 2019, yakni sebesar 1,80%. "Kondisi ini harus diberantas bersama," kata dia Kamis (02/03).

Adapun tren kejahatan narkotika dari tahun ke tahun dapat dilihat dalam laporan kejahatan terkait narkotika yang dilaporkan kepada Polisi Daerah (Polda) menurut “Statistik Kriminal 2021” seperti berikut:

 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement