Pengusaha Minta Aturan Baru Pungutan Ekspor Sawit Dikaji Ulang
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru untuk pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO). Hal ini menuai keberatan dari pengusaha karena nilainya dianggap terlalu tinggi.
Kebijakan baru pungutan ekspor CPO tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Skema pungutan ekspor sawit dalam PMK 191/2020 memiliki 15 tingkatan tarif dengan skema progresif. Tarif pungutan ekspor akan naik bertahap seiring kenaikan harga CPO.
Jika pada aturan sebelumnya berlaku tarif flat US$ 55 per ton, maka dalam aturan baru besaran pungutan tersebut hanya berlaku jika harga CPO sama atau di bawah US$ 670 per ton.
Sedangkan jika harga komoditas CPO di atas US$ 670 per ton, pungutan yang dikenakan sebesar US$ 60 per ton. Adapun nilai pungutan ekspor tertunggi ditetapkan US$ 225 per ton bila harga CPO di atas US$ 995 per ton.
Plt Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Agam Faturrochman menilai aturan tersebut perlu dikaji ulang agar tidak memberatkan pelaku industri, sebab nilainya terlalu tinggi.
Terlebih ketika harga CPO merosot beberapa bulan lalu karena pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dia mempertanyakan seperti apa kompensasinya nanti dan bagaimana jika harga CPO kembali turun.
“Kami menyoroti kenaikan ini, sehingga perlu dikaji kembali oleh stakeholder, khususnya stand alone, produsen CPO dan petani,” kata Agam dalam diskusi virtual, Selasa (8/12).
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdalifah Machmud menyatakan, kebijakan tarif pungutan ekspor sawit akan terus dievaluasi berkala sesuai dinamika perekonomian saat ini.
Kenaikan tarif pungutan diharapkan bisa menambah dana yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sehingga, mampu meningkatkan pelayanan baik dari segi kualitas dan kuantitas, pelaksanaan sumber daya manusia (SDM), penelitian dan pengembangan kelapa sawit.
Di sisi lain, pemerintah berkomitmen melanjutkan program mandatori biodiesel 30% (B30), untuk menciptakan kedaulatan energi juga meningkatkan serapan sawit pasar domestik agar tak bergantung pada pasar global. Dengan begitu, harga jual sawit bisa lebih baik.
Kebijakan pungutan ini pun bertujuan menambah dana yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan digunakan untuk pengembangan dan perbaikan produktivitas sawit sektor hulu. Salah satunya, program peremajaan perkebunan sawit rakyat dengan target 180.000 hektare per tahun.
Musdalifah mengatakan, besaran target luasan lahan yang diremajakan itu, diikuti dengan kenaikan alokasi dana untuk setiap hektare lahan yang diremajakan. “Besarannya menjadi 30 juta per hektare, angka ini naik 5 juta per hektare dari sebelumnya yang hanya mencapai 25 juta per hektare,” ujarnya.
Dengan program peremajaan kebun sawit, produktivitas kebun meningkat 5-6 ton per hektare.
Untuk mendukung program peremajaan, pemerintah melalui Direktorat Perkebunan menerbitkan Peraturan Direjen Perkebunan Nomo 318 tahun 2020, tentang pengembangan sumber daya manusia perkebunan. Diharapkan, aturan ini bisa menjadi pedoman teknis yang digunakan oleh pekebun guna mengakses bantuan-bantuan dana dari BPDP.
Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto mengatakan, naiknya kebutuhan dana dalam mendukung kelanjutan program pengembangan kelapa sawit nasional, bisa memperbaiki sektor perkebunan kelapa sawit.
“Mudah-mudahan PMK 191 ini dapat berjalan tanpa kendala. Langkah ini dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan program perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan perkebunan rakyat,” kata Andin.
Peremajaan Sawit Rakyat
Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurachman mengatakan, hingga 6 Desember lalu pihaknya telah menyalurkan dana Rp 1,986 triliun untuk peremajaan sawit seluas 71.237 hektare. Dana tersebut diberikan kepada 30.680 pekebun.
Meski demikian, dia mengungkapkan pelaksanaan program peremajaan menghadapi kendala. Selain akibat pandemi Covid-19, legalitas kebun juga masih menjadi persoalan. Padahal ini merupakan syarat utama mengikuti program sawit rakyat, di samping harus tergabung dalam kelembagaan koperasi.
"Persoalan lain adanya perkebunan rakyat di kawasan hutan, sehingga mereka tak tak bisa ikut. Surat tanah pekebun banyak yang dijaminkan untuk utang di bank. Ini kendala utama yang dihadapi pekebun sawit rakyat," katanya.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya advokasi dan asistensi ke pekebun sehingga mereka bisa memenuhi persyaratan dan ikut serta dalam program pemerintah.