COP28: Perdebatan soal Bahan Bakar Fosil Masuki Babak Genting
Gelaran KTT Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties ke-28 (COP28) kini memasuki babak akhir. Namun, dunia masih menanti keputusan penting terkait apakah para pemimpin sepakat menghapus bahan bakar fosil secara bertahap.
Koalisi dari lebih dari 80 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara-negara kepulauan kecil lainnya mendorong tercapainya kesepakatan untuk menghapus bahan bakar fosil dalam COP28. Tetapi, mereka menghadapi perlawanan keras dari OPEC yang merupakan negara-negara produsen sekaligus eksportir minyak bumi.
Melansir dari Reuters, emisi gas rumah kaca (GRK) dari bahan bakar fosil sejauh ini merupakan penyebab utama adanya perubahan iklim. Meskipun ada pertumbuhan pesat dari energi terbarukan, saat ini bahan bakar fosil menghasilkan sekitar 80% energi dunia.
Para negosiator mengatakan kepada Reuters bahwa anggota-anggota OPEC dan OPEC+ termasuk Rusia, Irak, dan Iran juga telah menolak upaya-upaya untuk memasukkan penghentian penggunaan bahan bakar fosil ke dalam kesepakatan COP28.
Dengan pembicaraan iklim COP28 yang memasuki masa-masa genting, Kepala Iklim PBB Simon Stiell mendesak negara-negara untuk bersatu guna mencapai kesepakatan akhir untuk pertemuan tersebut. Pasalnya, mereka masih memiliki perbedaan pendapat tentang apakah akan dilakukannya penghentian bahan bakar fosil.
Meski begitu, Stiell mengatakan ada kemajuan dalam menyelesaikan permasalahan ketidaksepakatan tersebut selama hari terakhir di COP28. Dia juga memperingatkan kepada negara-negara pendukung bahan bakar fosil bahwa penggunaan bahan energi kotor tersebut jika dilakukan secara terus-menerus akan menelan biaya jutaan dan nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
Negara-negara yang hadir dalam KTT iklim PBB di Dubai menunggu keputusan dari Kepresidenan COP28, yang dipegang oleh Uni Emirat Arab, untuk merilis rancangan teks baru di mana akan menjadi kesepakatan akhir yang diharapkan.
"Singkirkan blokade-blokade taktis yang tidak perlu. Ada banyak hal yang harus dilakukan dalam perjalanan ini," kata Stiell pada konferensi pers Senin (11/12) pagi, seperti dikutip Reuters.
Ia mengatakan, ada dua isu utama yang masih menjadi perdebatan yakni terkait seberapa ambisius negara-negara tersebut dalam menangani perubahan iklim, dan seberapa besar dana dan dukungan yang akan mereka berikan untuk mendukung tujuan tersebut.
Sementara itu, Presiden COP28 Sultan Al-Jaber memberikan waktu kepada para negosiator sampai Selasa (12/12), untuk menyepakati apa yang bisa menjadi kesepakatan pertama di dunia. Hal itu adalah kesepakatan terkait penghapusan penggunaan bahan bakar fosil, yang merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
"Akhiri era bahan bakar fosil. Wujudkan keadilan iklim," ujarnya.
Negosiasi Paling Sulit dalam Sejarah COP
Negara-negara lain termasuk India dan Cina tidak secara eksplisit mendukung penghapusan bahan bakar fosil di COP28, tetapi mendukung seruan populer untuk meningkatkan energi terbarukan.
Utusan iklim Tiongkok Xie Zhenhue menggambarkan pertemuan iklim tahun ini sebagai yang tersulit dalam karirnya.
"Saya telah berpartisipasi dalam negosiasi iklim ini selama 16 tahun. Pertemuan yang paling sulit adalah pertemuan tahun ini. Ada begitu banyak isu yang harus diselesaikan," kata Xie.
Ia mengatakan bahwa kecil kemungkinan pertemuan ini akan berhasil jika negara-negara tidak dapat menyepakati bahasa mengenai masa depan bahan bakar fosil.
Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav menuntut "kesetaraan dan keadilan" dalam setiap kesepakatan, dan menyatakan bahwa negara-negara kaya harus memimpin aksi iklim global.