Negara-negara Asia Paling Rentan terhadap Perubahan Iklim

Hari Widowati
5 Januari 2024, 14:29
Semakin banyak orang terpaksa meninggalkan rumah mereka seiring dengan meningkatnya jumlah bencana iklim, terutama di Asia.
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/YU
Pengendara melintasi banjir yang masih menggenangi kawasan Taram, Limapuluhkota, Sumatera Barat, Rabu (27/12/2023).
Button AI Summarize

Semakin banyak orang terpaksa meninggalkan rumah mereka seiring dengan meningkatnya jumlah bencana iklim, terutama di Asia.

Pusat Pemantauan Pengungsian Internal (Internal Displacement Monitoring Center/IDMC) menyatakan 2022 mencatat rekor 32,6 juta pengungsian internal terkait dengan bencana. Angka ini 41% lebih tinggi dari rata-rata tahunan dalam satu dekade terakhir. Angka tersebut juga jauh lebih tinggi dari 28,3 juta orang yang mengungsi akibat konflik dan kekerasan pada tahun yang sama.

Secara khusus, empat dari lima negara teratas dengan jumlah pengungsi internal baru terbanyak akibat bencana pada 2022 berada di Asia. Pakistan memiliki jumlah pengungsi internal tertinggi sebanyak 8,2 juta jiwa, diikuti oleh Filipina dengan 5,5 juta jiwa, dan Cina dengan 3,6 juta jiwa.

Situasi ini akan semakin memburuk. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2021, perubahan iklim dapat memaksa 216 juta orang di enam wilayah untuk pindah ke wilayah lain di dalam negaranya pada 2050.

Namun, Vinod Thomas, peneliti senior tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute, mencatat bahwa perkiraan ini mungkin lebih rendah daripada kenyataan. "Proyeksi biasanya meremehkan betapa buruknya keadaan, dan semua proyeksi mengarah ke satu arah - ini akan meningkat, dan meningkat dengan sangat cepat," kata Thomas, seperti dikutip CNBC.com.

Asia Selatan Paling Berisiko

Di kawasan ini, Asia Selatan kemungkinan besar akan memiliki paling banyak orang yang mengungsi akibat perubahan iklim karena kepadatan populasinya dan kerentanannya terhadap dampak perubahan iklim. Secara khusus, Thomas mencatat bahwa Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan kemungkinan besar akan menjadi negara-negara yang paling terdampak.

Menurut World Economic Forum (WEF), 10% hingga 18% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Asia Selatan terancam oleh bencana iklim. Angka ini tiga kali lipat dari risiko yang dihadapi Amerika Utara dan sepuluh kali lipat dari Eropa.

"Pengungsian internal yang disebabkan oleh perubahan iklim memiliki dampak ekonomi yang parah bagi negara tuan rumah," kata Thomas.

Selama kebakaran hutan "Musim Panas Hitam" di Australia dari 2019 hingga 2020, IDMC memperkirakan kerugian produksi ekonomi dari satu orang yang kehilangan satu hari kerja adalah sekitar US$510. Pada saat itu terdapat 65.000 pengungsi baru akibat kebakaran hutan.

Untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi mereka yang tidak dapat kembali ke rumah mereka selama satu tahun juga diperkirakan membutuhkan biaya antara US$44 juta dan US$52 juta (sekitar Rp 660 miliar hingga Rp 780 miliar).

Orang-orang yang mengungsi akibat bencana iklim juga dapat memutuskan untuk meninggalkan negara tersebut. "Apa yang telah kita lihat mengenai pergerakan eksternal adalah puncak gunung es dan hanya sekilas dari apa yang mungkin terjadi dan kami tidak siap untuk menghadapi itu," kata Thomas.

Jalur Migrasi

Tamara Wood, peneliti senior di Kaldor Centre for International Refugee Law, mengatakan orang-orang mungkin secara bertahap mulai bergerak melintasi batas seiring dengan memburuknya dampak perubahan iklim.

Pada November lalu, Australia menandatangani kesepakatan migrasi dengan Tuvalu yang menawarkan 280 warga negara Tuvalu untuk menjadi penduduk tetap di Australia setiap tahunnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...