Dibahas di Debat Cawapres, Benarkah RI Berpotensi Alami Greenflation?
Istilah greenflation mengemuka saat debat calon wakil presiden (cawapres) di JCC pada Minggu (21/1). Pada kesempatan itu, cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming bertanya mengenai cara mengatasi greenflation pada cawapres nomor urut 3 Mahfud MD.
Lalu apakah itu greenflation? Benarkah Indonesia berpeluang mengalami greenflation seperti yang dikatakan Gibran?
Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattof, mengatakan greenflation merupakan fenomena terjadinya kenaikan harga barang maupun jasa akibat kebijakan transisi energi.
Menurut Abra, transisi energi dari fosil menjadi energi terbarukan berdampak baik pada jangka pendek maupun panjang. Namun, dia tidak memungkiri ada potensi terjadinya inflasi karena transisi energi, termasuk di Indonesia.
"Karena kan saat ini tingkat keekonomian dari energi terbarukan relatif lebih mahal dibandingkan energi fosil," kata Abra kepada Katadata.co.id, Senin (22/1).
Transisi Energi Berpotensi Naikkan Harga Listrik
Abra menilai Indonesia belum sesiap negara maju dalam mengadopsi energi terbarukan karena pendapatan per kapitanya lebih rendah. Kondisi itu menyebabkan Indonesia rentan alami greenflation.
Dia mencontohkan rencana pemerintah untuk mengejar target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23% di 2025.
Untuk mengejar target tersebut, Abra mengatakan, akan ada peningkatan sumber energi primer di sektor kelistrikan maupun energi terbarukan. Hal itu mengakibatkan terjadinya peningkatan biaya produksi atau biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Padahal, BPP listrik sudah makin naik pada 2023.
"Artinya apa? Setelah BPP meningkat nanti pilihannya ada dua, akan dibebankan kepada konsumen dengan kenaikan tarif listrik, atau negara yang akan menanggung melalui subsidi maupun kompensasi energi," ujarnya.