Perbankan di Indonesia Masih Memiliki Kebijakan Batu Bara yang Lemah

Tia Dwitiani Komalasari
24 Januari 2024, 16:32
Foto udara pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk yang didatangkan dari Samarinda di Pelabuhan PLTU Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Kamis (4/1/2023). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat alokasi p
ANTARA FOTO/Andri Saputra/foc.
Foto udara pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk yang didatangkan dari Samarinda di Pelabuhan PLTU Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Kamis (4/1/2023). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat alokasi penggunaan batubara dalam negeri pembangkit dan industri dalam lima tahun ke depan akan naik 165 juta ton menjadi 208,5 juta ton di tahun 2025 yang didominasi oleh pembangkit listrik.
Button AI Summarize

Laporan Coal Havens mengkaji kebijakan batu bara dari 30 bank terbesar di Filipina, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Thailand dengan total aset yang dikelola mencapai lebih dari US$ 8 triliun. Bank-bank terbesar di Asia terbukti tidak memiliki atau memiliki kebijakan pengecualian batu bara yang lemah.

Sementara itu laporan BankTrack menemukan bahwa pembiayaan korporat menjadi pilihan yang digunakan membangun infrastruktur batu bara baru. Laporan ini menunjukan bahwa masih ada celah dalam kebijakan pengecualian batu bara.

Hal ini memberi ruang pada industri perbankan untuk terus membiayai proyek batu bara baru. Padahal, negara-negara di dunia sudah sepakat untuk beralih dari energi fosil yang diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim COP 28 pada Desember 2023. 

Juru Kampanye Iklim BankTrack, Will O’ Sullivan, mengatakan bahwa industri batu bara yang semakin menyusut masih mendapatkan pembiayaan dari bank-bank terbesar di kawasan Asia.

“Pemodal di Indonesia dan bank multilateral seperti Bank Dunia dan IFC masih membuka pintu untuk kerusakan iklim, ketika mereka seharusnya menjauhkan diri dari batu bara.” kata Will dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1).

Salah satu celah kebijakan yang terlihat dalam kebijakan keberlanjutan lembaga pinjaman sektor swasta Bank Dunia, IFC, adalah PLTU batu bara captive. IFC telah mengadopsi “Green Equity Approach” (GEA), sebuah pendekatan yang digunakan ketika bekerja dengan klien perantara keuangan.

IFC menggunakan GEA untuk membeli saham ekuitas dan mendorong klien untuk mengurangi eksposur pada proyek batu bara hingga mendekati nol pada tahun 2030. Walau Begitu, kebijakan ini tidak memasukan PLTU batu bara captive yang digunakan untuk industri seperti pertambangan, industri kimia, semen, smelter, dll.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...