Perusahaan RI Mulai Laporkan Perhitungan Emisi GRK, Siapa Saja?
Sejumlah perusahaan di Indonesia mulai menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dalam kegiatan usahanya. Penghitungan karbon tersebut terutama dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Chief Executive Officer of CarbonShare, FaelaSufa, mengatakan semua perbankan dengan kapitalisasiyang besar di Indonesia sudah rutin melaporkan emisi gas rumah kacanya. Selain itu, sebanyak 500 emiten yang terdaftar di Indonesia seharusnya sudah mulai melaporkan emisi GRK.
"Peraturannya sudah ada yang mengharuskan perusahaan melaporkan emisi gas rumah kaca. Dari sekitar 800 perusahaan yang terdaftar di BEI, sebanyak 500 yang aktif seharusnya sudah memberikan laporannya," ujar Faelasufa saat Pelatihan Basic Greenhouse Gases Calculation untuk media yang diselenggarakan oleh Sun Energy di Jakarta, Kamis (21/3).
Dia mengatakan, emiten yang tidak melaporkan emisi GRK kegiatan usahanya akan mendapatkan teguran dari Bursa Efek Indonesia. Selain itu, laporan penghitungan emisi GRK akan mempermudah emiten dalam mendapatka investasi hijau yang semakin meningkat saat ini.
Faelasufa mengatakan, ada dua standar pelaporan dan perhitungan emisi GRK yaitu, pertama berdasarakn ISO 14064 yang merupakan standar internasional pengelolaan emisi GRK.
Kedua yaitu Greenhouse Gas Protocol yang dikembangka oleh WRI/WBCSD. Standar pelaporan ini menjelaskan leboh lanjut bagaimana mengoperasionalkan ISO 14064.
Dia mengatakan, ada lima prinsip pelaporan dan perhitungan emisi GRK yaitu relevan, lengkap, konsistensi, transparansi, dan akurasi.
Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Segera Ditetapkan
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) akan segera diterapkan. Aturan tersebut akan mendongkrak transaksi karbon di Indonesia.
PTBAE adalah persetujuan teknis yang ditetapkan oleh Menteri ESDM mengenai tingkat emisi gas rumah kaca pembangkit tenaga listrik paling tinggi yang ditetapkan dalam suatu periode tertentu. Aturan tersebut juga akan menentukan ambang batas karbon setiap industri.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK, Laksmi Dhewanthi mengatakan pihaknya telah melakukan konsolidasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) untuk mengintegrasikan data Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dan Aplikasi Penghitungan dan Pelaporan Emisi Ketenagalistrikan (APPLE GATRIK).
“Ada kerja sama antara sistem pencatatan yang ada di APPLE GATRIK milik Kementerian ESDM dengan SRN PPI sehingga nanti PTBAE akan bisa masuk ke dalam bursa karbon,” kata Laksmi dalam acara Expanding Indonesia's Carbon Market: Opportunities for Growth and Sustainability, di Jakarta, Selasa (19/3).
Jika PTBAE diterapkan, para pelaku usaha wajib mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dalam proses usahanya. Jika tidak bisa mengurangi sendiri, pelaku usaha bisa membeli sertifikat karbon melalui Bursa Karbon Indonesia.
Dengan demikian, penetapan PTBAE ini akan mendongkrak transaksi Bursa Karbon Indonesia.
Berdasarkan data OJK, transaksi bursa karbon di Indonesia masih rendah. Jumlah pengguna jasa bursa karbon terdaftar hanya sebanyak 52, hingga 18 Maret 2024. Sementara total akumulasi volume transaksi di bursa karbon sebesar 501.956 ton CO2e dengan nilai sebesar Rp31,36 miliar.